Translate

Selasa, 28 September 2010

Psycosociosomatic Syndrome

Tadi pagi ada kuliah mengenai health promotion, tapi yang sangat panjang dibahas justru mengenai DERAJAT SEHAT,, pertanyaannya apakah saya, anda, kita, mereka masuk dalam kategori SEHAT???

Ada 3 komponen sehat yang harus terpenuhi, yakni sehat secara fisik (somatik), sehat secara psikis, dan sehat secara sosial; sebagian teori sehat menambahkan 1 komponen lagi yaitu sehat secara ekonomi. Untuk menyederhanakan pembahasan, variabel ekonomi dimasukkan dalam komponen sosial. Mari kita kupas satu per satu ya.

Pertama, sehat fisik, ini adalah istilah sehat yang dipahami sebagian besar masyarakat. Yakni kondisi tubuh yang bebas dari gangguan penyakit, bebas dari berbagai keluhan sakit dan dibuktikan dengan anamnesis oleh dokter, dan diagnosis telah ditegakkan.

Yang kedua adalah sehat psikis. Yakni kondisi dimana seseorang mampu memenuhi kepuasan internal dan eksternalnya. Apa saja? Kebutuhan akan kasih sayang, penghargaan, aktualisasi diri, kedamaian, ketenangan, rasa aman, pengakuan, prestasi, dan lain sebagainya. Ada juga yang menyebutkan dengan kondisi bebas dari stress. Tentu saja sudah menjadi sunatullah bahwa setiap jiwa akan diuji dengan kesenangan dan kesusahan. Setiap orang pasti punya masalah. Jadi kondisi sehat psikis tak kan pernah dicapai sempurna selama kita masih hidup.

Yang ketiga adalah sehat secara sosial. Yaitu apabila seseorang mampu memenuhi perannya dalam masyarakat sesuai dengan statusnya dan sesuai dengan standard sosial yang ada. Ironisnya, setiap orang pasti punya banyak peran dalam dirinya dimana ia takkan mampu menjalankan semua perannya dalam satu waktu. Saat seorang IBU menjadi MAHASISWA, maka peran IBU tak terpenuhi saat ada di kampus. Seorang DOKTER yang menjadi MAHASISWA, maka peran DOKTER nya tak terpenuhi saat ia sedang belajar di kelas. Sakit secara sosial?

JADI, derajat SEHAT yang benar-benar IDEAL dan SEMPURNA itu tak akan pernah dicapai, kecuali di SURGA. Upaya-upaya yang mampu dilakukan hanya untuk mencapai DERAJAT SEHAT yang mendekati ideal. Menjaga kesehatan dengan pola hidup yang bersih, sehat, makan makanan dg gizi seimbang, olah raga teratur, istirahat cukup, manajemen stress yang baik, menjalankan perannya dg tanggung jawab, menjalankan kewajiban dan mendapatkan haknya, dsb...

Gangguan yang terjadi pada ketiga komponen sehat tsbt sering disebut psikososiosomatis illness. Tapi harus diakui bahwa ketiga komponen tersebut saling berhubungan. Misal, saat secara somatis seseorang didiagnosis menderita diabetes, otomatis ia jadi tidak mampu memenuhi peran sosialnya, menjadi tidak produktif, akibatnya gangguan ekonomi. Kesulitan ekonomi biasanya jadi penyebab utama kondisi stress, jiwanya jadi tertekan karena bnyk pikiran dan perasaan gagal menunaikan peran sosialnya.

Dan masih banyak contoh lainnya, bisa jg dimulai dari penyakit sosial menjadi penyakit psikis dan akhirnya bermanifestasi menjadi penyakit fisik.

Perlu diketahui, pembunuh no.1 di republik kita ini adalah penyakit jantung koroner, dan korbannya adalah masyarakat miskin yang stress karena ketidaksejahteraan hidupnya. Apa buktinya? Banyak ditemukan kasus "angin duduk", karena tidak paham dianggap masuk angin biasa, dikerok dan tiba-tiba sudah tak bernyawa. Itu adalah penyakit jantung koroner yang tak pernah disadari. Mereka hanya tau dia mati mendadak.

Entah mengapa, selang beberapa jam dari kuliah itu, ko saya jadi mengalami psikososialsomatis illness, berasa langsung melakukan studi eksperimental ni :p

28 september 2010
-bunga karang-

Senin, 20 September 2010

Tak Sekedar Kata

Tuliskan apa yang kamu pikirkan

Kerjakan apa yang kamu tuliskan

Tuliskan apa yang kamu kerjakan


MENGAPA KAMU MENGATAKAN SESUATU YANG TIDAK KAMU KERJAKAN ?

 

Wahai orang-orang yang beriman,mengapa  kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?

Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

(QS As Shaff 2-3)


Back to campus,, back to be student, it's my first day,, ooh, so excited, early slept early woke up early came, haha.. deg-deg-an jugaa *norak dah

Sabtu, 18 September 2010

Jika Sudah Mampu, Silahkan Jalankan ;)

Seusai mengajarnya menyetir mobil, setelah 3x pertemuan:
"Teh, aku udah bisa nyetir."
"udah siap turun ke jalan?"
"insya Allah siap, teh."
"mau pake mobil apa?"
"yang matic aja."
"oke, tolong bawa adik-adik kita jalan-jalan keliling kota ya?"
"siap!"
"tapi teteh juga ikut ya."
"siiip."

Perjalanan lancar, jalan yang dilalui relatif aman, tak banyak kendala yang ditemui... Kami semua menikmati perjalanan itu... Dia pun jadi banyak belajar menghadapi rambu2 lalu lintas, polisi tidur, kemacetan, dan pastinya belajar memegang amanah karena begitu banyak nyawa yang bergantung padanya, keselamatan dirinya dan kami bisa jadi beban untuknya.. Belajar menanggung beban di jalan yang nyaman..

Pelajaran sudah dibekali, pelatihan sudah dijalani, pengalaman sudah dikantongi. Hari berikutnya dia mencoba mengendarai mobil non-matic, tantangannya jelas lebih besar lagi. Namun dia harus berani mencoba atau dia tak kan pernah bisa. Walaupun sedikit kagok dan sempat beberapa kali mesin mobilnya mati saat terjebak macet tapi akhirnya ia berhasil sampai tujuan, toh jalanan yang dilalui juga jalan besar, tanpa lubang, dan tidak terlalu berkelok.

Sukses mengendarai mobil non-matic di jalan raya, dia sudah berani mengangkut penumpang, mengantar dan menjemput adik-adiknya ke sekolah, dia sudah berani menanggung keselamatan orang lain, good job!

Semakin lama dia semakin mahir menyetir, jalanan sempit, licin, berkelok, berliku, tempat parkir yang sempit, jalanan rusak, semuanya sudah berhasil ditaklukannya.. Maka dia pun sekarang sudah siap terjun dalam berbagai tantangan di jalanan.. Dia pun sudah mengajarkan adik-adiknya menyetir mobil.. Ya, pada akhirnya jalanan yang dihadapinya memang penuh lika liku, halang rintang, dan tak selalu mulus.. Tapi, dengan bekal pendidikan, pelatihan, dan pengalaman, ia siap hadapi segala rintangan..

Ada satu hal yang membuatnya matang, PROSES, semuanya berproses, ada tahapan2 yang dengan sabar dilaluinya.. Setelah mampu menyetir, sebagai pemula ia memilih mobil matic dan ia diamanahi melalui jalanan yang tidak terlalu sulit, dan tetap didampingi. Bayangkan jika sebagai pemula, tanpa pengalaman yang matang ia langsung menempuh jalanan nagrek dgn mobil hi-jet tanpa didampingi, bisa jadi bukan sampai tujuan malah sampai kuburan..

Sabar dalam berproses,, berikan amanah pada seseorang sesuai kapasitasnya,, bekali dengan cukup sesuai kebutuhannya,, dan beri kepercayaan,, jangan sampai sudah diajari menyetir tapi tak pernah diijinkan untuk menyetir,,

-catatan tengah malam-

flo

Sabtu, 11 September 2010

Si Bola yang Ngegemesiiiiinnnnn




Haloooo kakak-kakak dan abang-abangkuuu....,, namaku Akbar, tapi kak bunga selalu manggil aku bola,, soalnya akuu buled kaya bola, hihihi


aku lucu kaaaannn????

Kamis, 09 September 2010

Agar Futur Tidak Menghantui

Rating:★★★★
Category:Other
Oleh: Mahfudz Siddiq, MSi.

“Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

Saudaraku…

Pengikut yang bertaqwa adalah mereka yang tidak menjadi lemah karena bencana, ujian, ketidakberuntungan yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh Allah dan Allah menyukai orang-orang yang bersabar.

Ada fenomena kelesuan atau futur dalam dimensi aqidah dan umumnya terjadi karena pergeseran orientasi hidup, lebih berorientasi pada materi duniawi an sich. Dan ada juga dalam dimensi ibadah dengan lemahnya disiplin -indhibath- terhadap amaliyah ubudiyah yaumiyah (harian). Adapun dalam dimensi fikriyah terlihat dengan lemahnya semangat meningkatkan ilmu. Di sisi lain pergeseran adab islami menyelimuti akhlaq mereka, belum lagi rasa jenuh dalam mengikuti aktivitas tarbawiyah atau pembinaan keislaman dan hubungan yang terlalu longgar antar lawan jenis.

Dalam hidup akan banyak ditemui bermacam jalan. Kadang datar, kadang menurun, kadang pula meninggi. Begitu pula dalam perjalanan dakwah. Ada saatnya para muharrik (orang yang bergerak) menemui jalan yang lurus dan mudah. Namun tidak jarang menjumpai onak dan duri. Hal demikian juga terjadi pada muharrik. Suatu saat ia memiliki kondisi iman yang tinggi. Di saat lain, iapun dapat mengalami degradasi iman. Tabiat manusia memang menggariskan demikian.

Dalam kondisi iman yang turun ini, para muharrik kadang terkena satu penyakit yang membahayakan kelangsungan gerang langkah dakwah. Yaitu penyakit futur atau kelesuan.

Saudaraku…

Futur berarti putusnya kegiatan setelah kontinyu bergerak atau diam setelah bergerak, atau malas, lamban dan santai setelah sungguh-sungguh.

Terjadinya futur bagi muharrik, sebenarnya merupakan hal yang wajar. Asal saja tidak mengakibatkan terlepasnya muharrik dari roda dakwah. Hanya malaikat yang mampu kontinyu mengabdi kepada Allah dengan kualitas terbaik.

Firman Allah, “dan kepunyaan-Nyalah segala apa yang di langit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak pula merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada hentinya.” (Al-Anbiya: 19-20)

Karena itu Rasulallah sering berdoa:

Artinya: “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku akhirnya. Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik amalku keridhaan-Mu. Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik hariku saat bertemu dengan-Mu.”

Penyebab Futur

Walaupun futur merupakan hal yang mungkin terjadi bagi muharrik, ada beberapa penyebab yang dapat menyegerakan timbulnya:

Pertama, berlebihan dalam din (Bersikap keras dan berlebihan dalam beragama)

Berlebihan pada suatu jenis amal akan berdampak kepada terabaikannya kewajiban-kewajiban lainnya. Dan sikap yang dituntut pada kita dalam beramal adalah washathiyyah atau sedang dan tengah-tengah agar tidak terperangkap dalam ifrath dan tafrith (mengabaikan kewajiban yang lain).

Dalam hadits yang lain Rasul bersabda:

“Sesungguhnya Din itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulitnya kecuali akan dikalahkan atau menjadi berat mengamalkannya.” (H.R. Muslim)

Karena itu, amal yang paling di sukai Allah swt. adalah yang sedikit dan kontinyu.

Kedua, berlebih-lebihan dalam hal yang mubah. (Berlebihan dan melampaui batas dalam mengkonsumsi hal-hal yang diperbolehkan)

Mubah adalah sesuatu yang dibolehkan. Namun para sahabat sangat menjaganya. Mereka lebih memilih untuk menjauhkan diri dari hal yang mubah karena takut terjatuh pada yang haram. Berlebihan dalam makanan menyebabkan seseorang menjadi gemuk. Kegemukan akan memberatkan badan. Sehingga orang menjadi malas. Malas membuat seseorang menjadi santai. Dan santai mengakibatkan kemunduran. Karena itu secara keseluruhan hal ini bisa menghalangi dalam amal dakwah.

Ketiga, memisahkan diri dari kebersamaan atau jamaah (Mengedepankan hidup menyendiri dan berlepas dari organisasi atau berjamaah)

Jauhnya seseorang dari berjamaah membuatnya mudah didekati syaitan. Rasul bersabda: “Setan itu akan menerkam manusia yang menyendiri, seperti serigala menerkam domba yang terpisah dari kawanannya.” (H.R. Ahmad)

Jika setan telah memasuki hatinya, maka tak sungkan hatinya akan melahirkan zhan (prasangka) yang tidak pada tempatnya kepada organisasi atau jamaah. Jika berlanjut, hal ini menyebabkan hilangnya sikap tsiqah (kepercayaan) kepada organisasi atau jamaah.

Dengan berjamaah, seseorang akan selalu mendapatkan adanya kegiatan yang selalu baru. Ini terjadi karena jamaah merupakan kumpulan pribadi, yang masing-masing memiliki gagasan dan ide baru. Sedang tanpa jamaah seseorang dapat terperosok kepada kebosanan yang terjadi akibat kerutinan. Karena itu imam Ali berkata: “Sekeruh-keruh hidup berjamaah, lebih baik dari bergemingnya hidup sendiri.”

Keempat, sedikit mengingat akhirat (Lemah dalam mengingat kematian dan kehidupan akhirat)

Saudaraku…

Banyak mengingat kehidupan akhirat membuat seseorang giat beramal. Selalu diingat akan adanya hisab atas setiap amalnya. Kebalikannya, sedikit mengingat kehidupan akhirat menyulitkan seseorang untuk giat beramal. Ini disebabkan tidak adanya pemacu amal berupa keinginan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah pada hari yaumul hisab nanti. Karena itu Rasulullah bersabda: “Jika sekiranya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan banyak menangis dan sedikit tertawa.”

Kelima, melalaikan amalan siang dan malam (Tidak memiliki komitmen yang baik dalam mengamalkan aktivitas ’ubudiyah harian)

Pelaksanaan ibadah secara tekun, membuat seseorang selalu ada dalam perlindungan Allah. Selalu terjaga komunikasi sambung rasa antara ia dengan Allah swt. Ini membuatnya mempersiapkan kondisi ruhiyah atau spiritual yang baik sebagai dasar untuk bergerak dakwah. Namun sebaliknya, kelalaian untuk melaksanakan amalan, berupa rangkaian ibadah baik yang wajib maupun sunnah, dapat membuat seseorang terjerumus untuk sedikit demi sedikit merenggangkan hubungannya dengan Allah. jika ini terjadi, maka sulit baginya menjaga kondisi ruhiyah dalam keadaan taat kepada Allah. kadang hal ini juga berkaitan dengan kemampuan untuk berbicara kepada hati. Dakwah yang benar, selalu memulainya dengan memanggil hati manusia, sementara sedikitnya pelaksanaan ibadah membuatnya sedikit memiliki cahaya.

Allah berfirman: “Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah ia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 40)

Keenam, masuknya barang haram ke dalam perut (Mengkonsumsi sesuatu yang syubhat, apalagi haram)

Ketujuh, tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan. (Tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dakwah)

Setiap perjuangan selalu menghadapi tantangan. Haq dan bathil selalu berusaha untuk memperbesar pengaruhnya masing-masing. Akan selalu ada orang-orang Pendukung Islam. Di lain pihak akan selalu tumbuh orang-orang pendukung hawa nafsu. Dan dalam waktu yang Allah kehendaki akan bertemu dalam suatu “fitnah”. Dalam bahasa Arab, kata “fitnah” berasal dari kata yang digunakan untuk menggambarkan proses penyaringan emas dari batu-batu lainnya. Karena itu “fitnah” merupakan sunnatullah yang akan mengenai para pelaku dakwah. Dengan “fitnah” Allah juga menyaring siapa hamba yang masuk golongan shadiqin dan siapa yang kadzib (dusta). Dan jika fitnah itu datang, sementara ia tidak siap menerimanya, besar kemungkinan akan terjadi pengubahan orientasi dalam perjuangannya. Dan itu membuat futur. Allah Berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka hati-hatilah kamu terhadap mereka.” (Al-Ahqaf: 14)

Kedelapan, bersahabat dengan orang-orang yang lemah (Berteman dengan orang-orang yang buruk dan bersemangat rendah)

Kondisi lingkungan (biah) dapat menentukan kualitas seseorang. Teman yang baik akan melahirkan lingkungan yang baik. Akan tumbuh suasana ta’awun atau tolong-menolong dan saling menasihatkan. Sementara teman yang buruk dapat melunturkan hamasah (kemauan) yang semula telah menjadi tekad. Karena itu Rasulullah bersabda:

“Seseorang atas diri sahabatnya, hendaklah melihat salah seorang di antara kalian siapa ia berteman.” (H.R. Abu Daud)

Kesembilan, spontanitas dalam beramal (Tidak ada perencanaan yang baik dalam beramal, baik dalam skala individu atau fardi maupun komunitas atau jama’i)

Amal yang tidak terencana, yang tidak memiliki tujuan sasaran dan sarana yang jelas, tidak dapat melahirkan hasil yang diharapkan. Hanya akan timbul kepenatan dalam berdakwah, sementara hasil yang ditunggu tak kunjung datang. Karena itu setiap amal harus memiliki minhajiatul amal (sistematika kerja). Hal ini akan membuat ringan dan mudahnya suatu amal.

Kesepuluh, jatuh dalam kemaksiatan (Meremehkan dosa dan maksiat)

Perbuatan maksiat membuat hati tertutup dengan kefasikan. Jika kondisi ini terjadi, sulit diharapkan seorang juru dakwah mampu beramal untuk jamaahnya. Bahkan untuk menjaga diri sendiri pun sulit.

Cara Mengobati Kelesuan

Saudaraku…

Untuk mengobati penyakit futur ini, beberapa ulama memberikan beberapa resep.

Pertama, jauhi kemaksiatan

Kemaksiatan akan mendatangkan kemungkaran Allah. Dan pada akhirnya membawa kepada kesesatan. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barang siapa ditimpa musibah oleh kemurkaan-Ku, maka binasalah ia.” (Thaha: 81)

Jauh dari kemaksiatan akan mendatangkan hidup yang akan lebih berkah. Dengan keberkahan ini orang dapat terhindar dari penyakit futur. Allah berfirman:

“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan dari bumi.” (Al-A’raf: 96)

Kedua, tekun mengamalkan amalan siang dan malam

Amalan siang dan malam dapat melindungi dan menjaga pelaku dakwah untuk selalu berhubungan dengan Allah swt. Hal ini dapat menjauhkannya dari perbuatan yang tidak mendapat restu dari Allah.

Allah berfirman:

“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu, ialah orang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang (mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (Al-Furqan: 63-64)

Ketiga, mengintai waktu-waktu yang baik

Dalam banyak hadits Rasulullah saw. banyak menginformasikan adanya waktu-waktu tertentu dimana Allah swt. lebih memperhatikan doa hamba-Nya. Sepertiga malam terakhir, hari Jum’at, antara dua khutbah, ba’da Ashar hari Jum’at, bulan Ramadhan, bulan Zulqaedah, Zulhijjah, Muharram, rajab dll. Waktu-waktu itu memiliki keistimewaan yang dapat mengangkat derajat seseorang di hadapan Allah.

Keempat, menjauhi hal-hal yang berlebihan.

Berlebihan dalam kebaikan bukan merupakan tindakan bijaksana. Apalagi berlebihan dalam keburukan. Allah memerintah manusia sesuai dengan kemampuannya.

Firman Allah:

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai dengan kesanggupanmu!” (At-Taghabun: 6)

Islam adalah Din tawazun (keseimbangan). Disuruhnya pemeluknya memperhatikan akhirat, namun jangan melupakan kehidupan dunia. Seluruh anggota tubuh dan jiwa mempunyai haknya masing-masing yang harus ditunaikan. Dalam ayat lain Allah berfirman:

“Demikianlah kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan (adil) dan pilihan. (Al-Baqarah: 143)

Kelima, melazimi Jamaah

“Berjamaah itu rahmat, Firqah (perpecahan) itu azab.” demikian sabda Rasulullah. Dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Barangsiapa yang menghendaki tengahnya surga, hendaklah ia melazimi jamaah.”

Dengan jamaah seorang muharrik akan selalu berada dalam majelis dzikir dan pikir. Hal ini membuatnya selalu terikat dengan komitmennya semula. Juga jamaah dapat memberikan program dan kegiatan yang variatif. Sehingga terhindarlah ia dari kebosanan dan rutinitas.

Keenam, mengenal kendala yang akan menghadang

Saudaraku…

Pengetahuan pelaku dakwah dan pejuang akan tabiat jalan yang hendak dilalui serta rambu-rambu yang ada, akan membuatnya siap, minimal tidak gentar, untuk menjalani rintangan yang akan datang. Allah berfirman:

“Dan beberapa banyak Nabi yang berperang bersama mereka sebagian besar karena bencana yang menimpa di jalan Allah, dan tidak pula lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

Ketujuh, teliti dan sistemik dalam kerja.

Dengan perencanaan yang baik, Pembagian tugas yang jelas, serta kesadaran akan tanggung jawab yang diemban, dapat membuat harakah menjadi harakatul muntijah (harakah yang berhasil). Perencanaan akan menyadarkan pejuang, bahwa jalan yang ditempuh amat panjang. Tujuan yang akan dicapai amat besar. Karena itu juga dibutuhkan waktu, amal dan percobaan yang besar. Jika ini semua telah dimengerti, insya Allah akan tercapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan.

Kedelapan, memilih teman yang shalih

Rasulullah bersabda:

“Seseorang tergantung pada sahabatnya, maka hendaklah ia melihat dengan siapa ia berteman.” (H.R. Abu Daud)

Kesembilan, menghibur diri dengan hal yang mubah

Bercengkerama dengan keluarga, mengambil secukupnya kegiatan rekreatif serta memberikan hak badan secara cukup mampu membuat diri menjadi segar kembali untuk melanjutkan amal yang sedang dikerjakan.

Kesepuluh, mengingat mati, surga dan neraka

Rasulullah bersabda: “Jika sekiranya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan banyak menangis dan sedikit tertawa.”

Saudaraku…

Ketahuilah, bahwa futur menyebabkan jalan dakwah yang harus di tempuh menjadi lebih panjang, sebab tidak mendapatkan ma’iyatullah (kebersamaan dan pembelaan Allah) dan daya intilaq (lompatan) kita menjadi lebih berat, baik karena borosnya biaya dan rontoknya para pejuang dan penyeru dakwah. Mudah-mudahan Allah selalu menjaga kita, Amin. Wallahu a’lam bis shawab

Keikhlasan Kolektif, Syarat Kemenangan Dakwah

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh: Fahmi Islam Jiwanto, MA

Keikhlasan kolektif? Kedengarannya mungkin aneh. Kita terbiasa memaknai keikhlasan sebagai sesuatu yang sangat pribadi, bahwa keikhlasan adalah rahasia antara hamba dan Sang Pencipta. Tetapi jika merenungi banyak ayat dalam Al-Qur’an ternyata keikhlasan tidak hanya dituntut secara individual, tetapi juga diperintahkan untuk terealisasi secara kolektif.

Ayat 5 surat Al-Bayyinah tidak asing bagi kita, Allah berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya secara lurus .” (Al-Bayyinah: 4)

Kata “umiru” dan kata “mukhlishin” pada ayat di atas menggunakan bentuk jama’, sehingga secara zhahir ayat tersebut memerintahkan terealisasikannya keikhlasan secara kolektif.

Al-Qur’an menghendaki keikhlasan terlaksana dalam komunitas orang-orang beriman, sebagaimana dalam surat al-Fatihah setiap muslim selalu mengatakan “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), bukan “iyyaka a’budu wa iyyaka asta’in” (hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan).

Lebih jauh lagi bahkan tidak teralisasinya keikhlasan kolektif dalam suatu komunitas mengakibatkan bencana dan kekalahan bagi seluruh personal komunitas tersebut. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ketika mengomentari kekalahan umat Islam di perang Uhud:

وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللَّهُ وَعْدَهُ إِذْ تَحُسُّونَهُمْ بِإِذْنِهِ حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي الْأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّونَ مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآَخِرَةَ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ وَلَقَدْ عَفَا عَنْكُمْ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Dan Sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka (orang-orang musyrik Quraisy) dengan izin-Nya, sampai pada sa’at kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai (yaitu terhamparnya ghanimah). Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah mema’afkan kamu. dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 152)

Ayat tersebut mengungkapkan bahwa ketika keikhlasan sebagian kaum mukminin tercoreng dan motivasi sudah bercampur, kekalahan dan kegagalan perjuangan adalah suatu keniscayaan.

Sampai di sini ada dua pertanyaan menghadang:

Pertama, apakah keikhlasan kolektif berarti bahwa dalam komunitas orang beriman tidak boleh ada yang bersalah dan berdosa sampai-sampai niat melenceng saja dapat mengakibatkan kekalahan bersama?

Kedua, apakah hal itu berarti kita harus mengetahui dan menyingkap niat orang lain di sekitar kita padahal masalah keikhlasan adalah rahasia hati yang tidak bisa diketahui kecuali oleh yang bersangkutan dan Allah SWT?

Mengenai pertanyaan pertama, kesalahan dan dosa selain memiliki efek terhadap individu yang melakukan, juga berefek pada masyarakat sekitar. Tetapi efek tersebut hanya berpengaruh dalam kondisi-kondisi berikut:

1. Yang bersangkutan tidak bertaubat. Jika seseorang bertaubat maka kesalahan dan dosa diampuni. (Ali Imran: 153)

2. Yang bersangkutan melakukan dosa dan kesalahan secara terang-terangan. Jika dilakukan secara tersembunyi maka dosa hanya akan berefek pada pribadi yang melakukan. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim Rasulullah bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَاةٌ إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ

“Seluruh umatku terselamatkan kecuali orang-orang yang berbuat (dosa) terang-terangan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

3. Niat buruk telah menjelma menjadi perkataan, konsep, atau perbuatan. Niat yang melenceng jika terlintas dalam hati saja, tetapi tidak diterjemahkan dalam perkataan atau perbuatan, tidak berbahaya sama sekali. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ. متفق عليه

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku dari hal-hal yang mereka katakan dalam hati mereka selama tidak mereka amalkan atau ucapkan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

4. Tidak ada yang mengingatkan dan mengingkari kesalahan dan dosa yang diperbuat secara terang-terangan. Jika ada yang mengingkari dan melarang perbuatan dosa, maka orang-orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar tersebut selamat dari akibat perbuatan dosa tersebut. (Al-A’raf: 165)

Masyarakat yang diinginkan Al-Qur’an bukanlah masyarakat malaikat yang tidak pernah berbuat salah atau berniat melenceng. Kesalahan dan penyelewengan masih bisa ditolerir jika tidak mendominasi dan menjadi fenomena umum. Karena itu amar ma’ruf nahi munkar, tawashi bil haq dan tawashi bish shobr, menjadi pilar keberlangsungan komunitas orang-orang beriman. Dalam masyarakat Nabi SAW dan para sahabat terdapat orang-orang yang berdosa dan bahkan orang munafiq bahkan orang yahudi. Tetapi dominasi ada pada suara keimanan dan ajaran Islam.

Mengenai pertanyaan kedua, membongkar hati orang lain bukanlah hal yang mungkin dilakukan bahkan tidak boleh dilakukan. Yang harus dilakukan hanyalah memberi peringatan dan membangkitkan motivasi. Bahkan itulah sesungguhnya tugas Nabi SAW dan para pengikutnya. Allah berfirman:

فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ . لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُسَيْطِرٍ

“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka,” (Al-Ghasyiyah: 21-22)

Keberhasilan seorang juru dakwah bukanlah dikarenakan dia dapat memaksakan kehendaknya atau pikirannya kepada para pengikutnya, tetapi keberhasilan sejatinya adalah ketika dia dapat memotivasi para pengikut dengan motivasi yang lurus dan membuat para pengikut bergerak dengan keikhlasan menjalankan perintah Allah. Seringkali kepentingan duniawi menggoda para pejuang di jalan Allah, di sinilah tantangan keteguhan motivasi dan kekuatan ikhlas diuji.

Di sisi lain, meskipun keikhlasan merupakan rahasia hati, tetapi keikhlasan tercermin dalam ucapan dan perbuatan. Al-Qur’an mengungkapkan bahwa sikap nifaq meskipun disembunyikan dalam hati, tetap akan tampak dalam sela-sela ucapan dan indikasi perbuatan. Allah berfirman:

أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَنْ لَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ أَضْغَانَهُمْ وَلَوْ نَشَاءُ لأرَيْنَاكَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ

“Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka? Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu”. (Muhammad: 29-30)

Tanda-tanda ketidakikhlasan dapat ditangkap dari perkataan dan perbuatan. Meskipun kita juga diajarkan untuk tidak berprasangka buruk (su’uzh-zhan) (Al-Hujurat: 12), tetapi seorang mukmin haruslah cerdas dan bijaksana, dia waspada dan peka terhadap gejala ketidakikhlasan tanpa harus berprasangkapa buruk. Bagaimana caranya? Ada beberapa langkah yang diajarkan Al-Qur’an kepada kita tentang hal ini.

Pertama, biasakan kita untuk selalu dekat dengan majelis dzikir wal ikhlas dan orang-orang yang rajin berdzikir dan ikhlas. Apa dan siapa mereka itu? Mari dengarkan firman Allah ini:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

“Dan bersabarlah kamu (wahai Muhammad) bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)

Redaksi perintah seperti ini Allah tujukan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Begitu pentingnya sehingga secara khusus Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk melakukan hal tersebut.

Sayyid Qutb berkata tentang makna ayat ini, “Sabarkan dirimu, yaitu jangan bosan dan tergesa-gesa, bersama “orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya” karena Allah-lah tujuan mereka. Mereka menghadap Allah pagi dan senja, tidak menyimpang dari-Nya, tidak mengharapkan selain ridha-Nya. Yang mereka idamkan lebih agung dan lebih luhur dari semua yang diidamkan para pencari dunia. Sabarkan dirimu bersama mereka itu. Bersahabatlah dengan mereka, ikutlah dalam majelis mereka dan ajarkan mereka (wahai Muhammad). Pada merekalah terdapat kebaikan. Dan atas pundak merekalah gerakan dakwah dapat berdiri. Karena dakwah tidak berdiri di tangan orang-orang yang menganutnya demi merealisir ambisi-ambisi, demi memperdagangkannya di pasar dakwah sehingga dibeli atau dijual! Dakwah hanyalah berdiri pada hati-hati yang menghadap kepada Allah dengan ikhlas, tidak menginginkan kedudukan, kenikmatan, ataupun kepentingan. Tetapi hanya mengharapkan wajah-Nya dan menginginkan ridha-Nya.

Ayat ini begitu unik. Keunikan tersebut perlu kita perhatikan. Biasanya orang-orang mukminlah yang diperintahkan untuk bersama dengan Nabi Muhammad SAW. Tetapi pada ayat ini Nabi Muhammadlah yang diperintahkan untuk bersabar bersama orang-orang mukmin tersebut. Mengapa?

Untuk lebih memahami hal tersebut, coba kita lihat bersama latar belakang diturunkannya ayat ini:

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa Saad bin Abi Waqqash berkata, “Kami sedang duduk bersama Rasulullah SAW enam orang. Datanglah orang-orang musyrik dan mereka berkata: “Usirlah mereka itu, jangan sampai mereka berani duduk dengan kami.” Ketika itu saya bersama Ibnu Mas’ud, seorang dari Hudzail, Bilal, dan dua orang saya lupa namanya. Lalu turunlah ayat tersebut.”

Ibnu Katsir menfsirkan ayat tersebut sebagai berikut, “Duduklah bersama orang-orang yang mengingat Allah, bertahlil, bertahmid, bertasbih dan bertakbir setiap pagi dan petang, baik mereka itu miskin ataupu kaya, kuat ataupun lemah.” Ayat tersebut memerintahkan Nabi Muhammad untuk tidak terpengaruh dengan orang pembesar-pembesar Quraisy yang enggan duduk bersama orang-orang mukmin yang mayoritas tergolong miskin yang lemah demi mengambil hati golongan elit tersebut.

Keikhlasan dapat dengan mudah ditemukan pada komunitas orang-orang yang sederhana dan tawadhu, yang selalu berkumpul dalam suasana dzikir, mengingat Allah. Sebagaimana manusia dituntut untuk memilih pemimpin, pemimpin juga harus selektif dalam memilih orang-orang dekatnya dan orang-orang kepercayaannya. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menjadikan orang-orang dekatnya adalah orang-orang yang rajin berdzikir siang malam, pagi dan petang, orang-orang yang biasa beramal hanya demi akhirat, orang-orang yang kesibukan utamanya adalah mencari ridha Allah.

Mereka yang hidupnya senantiasa dalam suasana mengingat Allah dan akhirat, akan memiliki sensitifitas tinggi terhadap gejala-gejala penyimpangan. Sebaliknya, mereka yang terlalu banyak bergaul dengan para pembela kepentingan dunia, hati mereka akan terkontaminasi dengan polusi-polusi niat yang tidak lurus. Lebih parah lagi jika para pencari dunia tersebut adalah orang-orang yang pandai dan terbiasa membuat pembenaran-pembenaran terhadap segala perbuatannya.

Kedua, membiasakan diri kita untuk secara ketat mengawasi niat kita sendiri, sebelum melihat dan menilai orang lain. Allah memerintahkan kita untuk membersihkan hati kita, tetapi Allah melarang kita untuk merasa dan menganggap diri sebagai orang bersih. Allah berfirman:

فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (An-Najm: 32)

Adalah sifat orang mukmin sejati, mereka selalu khawatir diri mereka terjangkiti penyakit nifaq (kemunafikan) tanpa mereka sadar. Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Saya bergaul dengan lebih dari tiga puluh sahabat Nabi SAW, mereka semua takut dirinya terjangkiti penyakit nifaq, dan tak seorangpun dari mereka mengatakan bahwa iman mereka seperti imannya Jibril dan Mikail.”

Bahkan Hasan al-Bashri berkata, “Tidaklah seseorang merasa takut dari penyakit nifaq kecuali dia mukmin, tidaklah seseorang merasa aman dari penyakit nifaq kecuali pasti dia munafik.”

Keikhlasan adalah sebuah perjuangan hati melawan bisikan nafsu dan dorongan setan, bukan sesuatu yang hanya diklaim atau diaku-aku. Hati yang peka dan bersih akan selalu sibuk meluruskan niat, bukan mengakui keikhlasan dan merasa aman. Begitu sulitnya meluruskan niat ini sampai-sampai seorang ulama besar, Sufyan ats-Tsauri berkata, “Saya tidak menemukan amal yang lebih sulit dari pada mengikhlaskan niat.”

Seseorang yang terbiasa mengawasi hatinya akan mendapat dua faidah, pertama dia dapat memelihara kebersihan hati, dan kedua dia mengatahui bagaimana setan dan hawa nafsu mengelabui hati. Dan dengan bekal itu, dia akan mengetahui bagaimana cara meluruskan niat orang lain, tanpa menuduh keikhlasan seseorang.

Ketiga, harus dilakukan penguatan dan pelurusan motivasi secara berkala dan masif. Meskipun bab Ikhlas adalah bab yang aksiomatis dan sudah begitu familiar bagi setiap aktifis, tetapi bukan berarti kita cukup hanya membicarakannya sekali untuk diketahui saja. Karena kebutuhan hati terahadap tadzkir (peringatan/nasehat) sama dengan kebutuhan tubuh terhadap makanan. Tidak mungkin manusia hanya sekali makan, kemudian berhenti. Begitu pula hati manusia dia harus diisi dengan tadzkiroh secara rutin.

Surat Wal Ashri adalah surat yang tidak asing bagi setiap muslim. Tetapi para sahabat Nabi SAW merasa perlu untuk saling mengingatkan pesan surat ini setiap mereka bertemu. Itu karena mereka sadar bahwa hati dan keimanan akan melemah jika tidak mengkonsumsi taushiyah secara berkala. Dr Yusuf al-Qardhawi sering berkata tentang ayat 3 surat tersebut, “Semua manusia wajib menerima dan memberi taushiyah. Tidak ada orang yang terlalu rendah untuk memberi nasehat. Dan tidak ada orang yang terlalu tinggi untuk menerima nasehat.”

Allah berfirman:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55)

Wallahu Waliyyut taufiq.

Menutup Aurat (Bagian ke-3): Aurat Wanita Dan Hukum Menutupnya

Rating:★★★★
Category:Other
Aurat Wanita Dan Hukum Menutupnya

Yang menjadi dasar aurat wanita adalah:

1. Al-Qur’an

Allah SWT berfirman :

“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (jilbab)nya ke dadanya”. (QS. An-Nur : 30-31)

Ayat ini menegaskan empat hal :

a. Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh Allah.

b. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.

c. Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak.

d. Perintah untuk menutupkan khumur ke dada. Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau dalam bahasa kita disebut jilbab.

Allah SWT berfirman :

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Ahzab: 59).

Jilbab dalam bahasa Arab berarti pakaian yang menutupi seluruh tubuh (pakaian kurung), bukan berarti jilbab dalam bahasa kita (lihat arti kata khimar di atas). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa menutup seluruh tubuh adalah kewajiban setiap mukminah dan merupakan tanda keimanan mereka.

2. Hadits Nabi SAW

Dalam riwayat Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata : Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haidh (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini, sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Daud dan Baihaqi).

Hadits ini menunjukkan dua hal:

1. Kewajiban menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan.
2. Pakaian yang tipis tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat.

Dari kedua dalil di atas jelaslah batasan aurat bagi wanita, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup aurat adalah wajib. Berarti jika dilaksanakan akan menghasilkan pahala dan jika tidak dilakukan maka akan menuai dosa.

Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku pada saat shalat saja namun juga pada semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya.

A. Aurat wanita bersama wanita

Wanita bersama dengan kaum wanita, bagaikan laki-laki bersama dengan laki-laki, diperbolehkan melihat seluruh badannya kecuali antara lutut dan pusarnya, kecuali diindikasikan akan membawa fitnah, maka tidak boleh menampakkan bagian tubuh itu. Hanya saja kepada wanita yang tidak seagama, wanita muslimah tidak boleh menampakkan auratnya sebagaimana kepada sesama wanita muslimah. Karena wanita yang tidak seagama berstatus orang lain bagi wanita muslimah. Allah berfirman :

Artinya: …atau wanita-wanita Islam…. (QS. An Nur/24:30)

B. Aurat wanita di hadapan laki-laki

Keberadaan wanita di hadapan lawan jenisnya memiliki rincian hukum yang berbeda-beda, yaitu:

a. Di hadapan laki-laki lain, yang tidak ada hubungan mahram.

Maka seluruh badan wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Karena keduanya diperlukan dalam bermuamalah, memberi dan menerima.

Pandangan laki-laki kepada wajah dan telapak tangan wanita bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Tidak diperbolehkan dengan sengaja melihat wajah dan telapak tangan wanita lain tanpa tujuan syar’i. Dan jika tanpa sengaja melihatnya maka segera harus memalingkan pandangan seperti yang telah dijelaskan pada pandangan faj’ah (tanpa sengaja).

2. Melihat karena ada tujuan syar’i dan tidak ada fitnah, seperti melihat untuk melamar. Rasulullah menyuruh Mughirah bin Syu’bah untuk melihat wanita yang hendak dinikahinya:

“Jika salah seorang di antaramu, meminang seorang wanita maka jika ia mampu melihat bagian yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah. (H.R. Ahmad, dan Abu Daud)

Dan untuk semua tujuan itu, seseorang diperbolehkan melihat wajahnya, yang dengan melihat wajah itu sudah cukup untuk mengenalinya.

3. Memandang dengan syahwat, inilah pandangan terlarang, seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi:

Nabi saw bersabda :

“Telah ditetapkan atas setiap anak Adam bagian dari zina, zina mata adalah pandangannya, zina mulut adalah ucapannya, zina telinga adalah mendengarkannya, zina tangan adalah memegangnya, zina kaki adalah melangkah menemuinya, nafsunya berharap dan berselera, kemaluannya membenarkan atau mendustakannya. (H.R. Ibnu Majah)

Asbabun nuzul ayat 30 ini sangat memperjelas kewajiban menjaga pandangan, yaitu kisah seorang laki-laki yang lewat di salah satu jalan di Madinah, ia memandangi seorang wanita. Dan wanita itupun membalas memandanginya. Setan ikut bermain menggoda keduanya, sehingga keduanya saling mengagumi. Sambil berjalan laki-laki itu terus memandangnya hingga ia menabrak tembok dan berdarah hidungnya. Ia berkata:

“Demi Allah! Saya tidak akan membasuh darah ini sebelum saya menemui Rasulullah SAW lalu saya ceritakan kejadian ini.”

Laki-laki itu segera menemui Nabi dan menceritakan kejadiannya. Nabi bersabda:

“Inilah hukuman dosamu”. Dan Allah menurunkan ayat 30 dan 31 ini.[1]

Pengecualian dalam hukum ini adalah jika berada dalam keadaan terpaksa, seperti penglihatan dokter muslim yang terpercaya untuk pengobatan, khitan, atau penyelamatan dari bahaya kebakaran, tenggelam, dsb.

b. Di hadapan laki-laki yang memiliki hubungan mahram

Jika laki-laki itu memiliki hubungan mahram karena nasab, sepersusuan, atau hubungan perkawinan (mertua), maka aurat wanita itu sebagaimana aurat laki-laki yaitu diperbolehkan melihat semua badannya kecuali antara pusar dan lututnya. Kecuali jika ada fitnah, maka harus menutup seluruh badannya.

Ada Ulama lain yang mengatakan bahwa dalam kondisi itu wanita hanya boleh menampakkan bagian tubuh yang biasa terlihat sewaktu bekerja, yaitu: rambut, leher, lengan, dan betis.

Allah berfirman :

“Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasan-nya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka” ( QS. An Nur/24:31)

c. Di hadapan suami

Seorang wanita di hadapan suaminya boleh menampakkan seluruh anggota badannya. Karena segala sesuatu yang boleh dinikmati, tentu boleh juga dilihat.

Allah berfirman :

“kecuali kepada suami mereka, …,

Ada sebagian ulama yang mengatakan makruh melihat kemaluan. Karena Aisyah RA mengatakan tentang hubungannya dengan Nabi Muhammad SAW:

Artinya: “Saya tidak pernah melihat darinya dan ia tidak pernah melihat dariku. (H.R. At Tirmidzi)

d. Budak wanita di hadapan orang yang tidak boleh menikmatinya

Aurat budak wanita di hadapan laki-laki yang tidak boleh menikmatinya adalah seperti aurat laki-laki, yaitu antara lutut dan pusar. Dan jika di hadapan tuan yang boleh menikmatinya maka kedudukannya bagaikan istri dengan suaminya.

Allah berfirman :

“atau budak-budak yang mereka miliki,….

– Bersambung

(hdn)
Catatan Kaki:

[1] Asy Syaukani, Fathul-Qadir, (Beirut: Dar El Fikr T th) Jilid IV h.25

Menutup Aurat (Bagian ke-2): Aurat Laki-laki dan Hukum Menutupnya

Rating:★★★★
Category:Other
Aurat Laki-laki dan Hukum Menutupnya

dakwatuna.com – Aurat laki-laki yang harus ditutup saat menunaikan shalat adalah qubul (kemaluan bagian depan) dan dubur (kemaluan bagian belakang), adapun di luar itu, mulai dari paha, pusar dan lutut, para ulama berbeda pendapat; sebagian ulama menganggapnya sebagai aurat dan sebagian lagi tidak menganggapnya sebagai aurat.

Pendapat pertama :

Bahwa paha, pusar dan lutut bukan aurat

Mereka beralasan :

Nabi bersabda :

عن عائشة رضي الله عنها: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان جالسا كاشفا عن فخذه، فاستأذن أبو بكر فأذن له وهو على حاله، ثم استأذن عمر فأذن له، وهو على حاله ثم استأذن عثمان فأرخى عليه ثيابه. فلما قاموا قلت: يا رسول الله استأذن أبو بكر وعمر فأذنت لهما.

وأنت على حالك، فلما استأذن عثمان أرخيت عليك ثيابك؟ فقال: “يا عائشة ألا أستحي من رجل والله إن الملائكة لتستحي منه” رواه أحمد، وذكره البخاري تعليقا.

Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah saw saat duduk pahanya terbuka, lalu Abu Bakar meminta izin kepada Rasul, beliau pun mengizinkannya dan beliau dalam keadaan seperti semula, kemudian Umar meminta izin dan beliau mengizinkannya dan beliau dalam keadaan seperti itu, kemudian Utsman pun ikut meminta izin namun beliau menurunkannya pakaiannya, setelah mereka pergi aku berkata : Wahai Rasulullah ketika Abu Bakar dan Umar meminta izin engkau mengizinkan keduanya. Dan engkau dalam keadaan semula, namun ketika Utsman meminta izin engkau mengulurkan pakaianmu ? maka beliau bersabda : Wahai Aisyah, apakah aku tidak malu dari seseorang, demi Allah para malaikat lebih malu darinya”. (HR. Ahmad, dan disebutkan oleh imam Bukhari dalam ta’liqnya)

وعن أنس: “أن النبي صلى الله عليه وسلم يوخ خيبر حسر الازار عن فخذه، حتى إني لانظر إلى بياض فخذه” رواه أحمد والبخاري.

Dari Anas RA: bahwa Nabi saw membuka pada saat Khaibar kain sarungnya sehingga terbuka pahanya, sampai aku dapat melihat pahanya yang berwarna putih. (HR. Ahmad dan Bukhari)

Ibnu Hazm berkata : Jelas bahwa paha bukan aurat, sekiranya merupakan aurat maka Allah tidak akan menyingkapkannya padahal beliau seorang yang suci dan maksum dari manusia, saat beliau menyampaikan risalahnya dan tidak diperlihatkan pahanya di hadapan Anas bin Malik dan yang lainnya.

وعن مسلم عن أبي العالية البراء قال: إن عبد الله ابن الصامت ضرب فخذي وقال: إني سألت أبا ذر فضرب فخذي كما ضربت فخذك وقال: إني سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم كما سألتني فضرب فخذي كما ضربت فخذك وقال: (صل الصلاة لوقتها) إلى آخر الحديث.

Dari Imam Muslim, dari Abu Al-‘Aliyah al-barra berkata : bahwa Abdullah bin As-shamit memukul paha saya, dia berkata : lalu saya bertanya kepada Abu Dzar, maka beliau memukul paha saya seperti Aku memukul paha kamu, kemudian dia berkata : kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw seperti yang kamu Tanya kepadaku maka beliau pun memukul saya seperti aku memukul paha kamu, dan beliau bersabda : “Dirikanlah shalat pada waktunya…sampai akhir hadits.

Ibnu Hazm berkata : jika paha sebagai bagian dari aurat maka Rasulullah saw tidak akan menyentuhnya dari Abu Dzar dengan tangannya yang suci. Dan jika paha merupakan aurat menurut Abu Dzar maka tidak menyentuh paha Abdullah bin Shamit dengan tangannya, begitu pun Abdullah bin Shamit dan Abu al-Aliyah.

Pendapat kedua :

Bahwa paha, pusar dan lutut adalah aurat.

Mereka beralasan :

Hadits nabi saw :

عن محمد بن جحش قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على معمر، وفخذاه مكشوفتان فقال :”يا معمر غط فخذيك فإن الفخذين عورة” رواه أحمد والحاكم والبخاري في تاريخه، وعلقه في صحيحه.

Dari Muhammad bin Jahsy berkata : Rasulullah saw melewati ma’mar sementara kedua pahanya tersingkap, beliau bersabda : “Wahai Ma’mar tutuplah kedua pahamu karena paha itu adalah aurat”. (HR. Ahmad, Hakim dan Bukhari).

وعن جرهد قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي بردة وقد انكشفت فخذي فقال: “غط فخذيك فإن الفخذ عورة” رواه مالك وأحمد وأبو داود والترمذي وقال: حسن: وذكره البخاري في صحيحه معلقا.

Dan dari Jurhud berkata : Rasulullah saw lewat pada Burdah dan kedua pahanya tersingkap, beliau bersabda : “Tutuplah kedua pahamu karena paha itu adalah aurat”. (HR. Malik, Ahmad, Hakim, Abu Dawud dan Tirmidzi serta Bukhari dalam shahihnya).

Demikian dua pendapat tentang batasan aurat laki-laki, namun bagi kita untuk lebih berhati-hati, saat akan menunaikan shalat maka kita menutup aurat kita mulai dari pusar hingga dua lututnya sebisa mungkin.

Aurat laki-laki bersama dengan laki-laki.

Bersama dengan kaum lelaki, ia tidak boleh menampakkan bagian antara lutut dan pusarnya, baik laki-laki yang melihatnya itu kerabatnya maupun orang lain, baik muslim maupun kafir. Adapun selain anggota tubuh itu boleh terlihat selama tidak ada fitnah.

Rasulullah bersabda :

Artinya: Apa yang ada di antara pusar dan lutut adalah aurat. (H.R. Al Hakim)

Rasulullah saw bersabda :

Artinya: Tutuplah pahamu, karena paha lelaki adalah aurat”. (H.R. Al Hakim)

Aurat laki-laki di hadapan wanita

Seorang wanita muslimah diperbolehkan melihat kaum lelaki yang berjalan di jalan-jalan, atau memainkan permainan yang tidak diharamkan, yang sedang berjual beli, dan sebagainya.

Rasulullah SAW menyaksikan orang-orang Habsyiy bermain lembing di dalam masjid pada hari raya dan Aisyah ikut menyaksikan mereka dari belakang beliau. Rasulullah menghalangi Aisyah dari mereka, sampai ia merasa bosan dan pulang. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke tujuh Hijriyah. [1]

Sedangkan hadits yang mengatakan :

“Berhijablah kalian berdua dari padanya. Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?”[2] Menunjukkan bahwa Ummu Salamah dan Maimunah berkumpul bersama Ibnu Ummi Maktum di dalam satu majelis, mereka bertemu pandang dan berhadap hadapan.

Pada kenyataannya, memang sangat berbeda antara pandangan laki-laki pada wanita dan pandangan wanita pada laki-laki. Wanita dengan rasa malu yang tinggi akan cenderung pasif, sedangkan laki-laki dengan sifat pemberaninya akan cenderung aktif dan kreatif.

Kesimpulannya, wanita diperbolehkan melihat lelaki lain dengan dua syarat, yaitu :

Pertama, tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.

Kedua, tidak berada dalam satu majelis berhadap-hadapan.

– Bersambung

(hdn)
Catatan Kaki:

[1] As Shan’ani, Subulusalam, (Riyadh: Mathabi’ Jami’ah Al Imam Muhammad Ibn Su’ud Al Islamiyah, 1408 H) Juz I h. 304

[2] Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, op cit, Juz XII h. 228

Menutup Aurat

Rating:★★★★★
Category:Other
Aurat dan Pakaian

dakwatuna.com – Keberhasilan pertama kali yang diperoleh iblis dalam menggoda manusia setelah ia mendapat vonis diusir dari surga adalah dengan melucuti pakaian Adam dan Hawa sehingga terbuka auratnya.

Allah berfirman:

فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ ﴿٢٢﴾

“Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga… (QS. 7/Al A’raf: 22)

Dan ketika aurat telah terbuka maka dampak maksiat yang muncul kemudian sebagai akibat logisnya tidak dapat dihindarkan lagi. Di samping telah runtuhnya kehormatan dan kemuliaan seseorang dengan aurat yang terbuka itu. Maka Allah swt memperingatkan manusia agar berhati-hati menjaga auratnya dari godaan setan yang senantiasa mengintainya.

Allah berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ ﴿٢٦﴾ يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا ۗ إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ ﴿٢٧﴾

“Hai anak Adam sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihatmu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah jadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. QS. 7/Al A’raf: 26-27

Makna Aurat

Kata “aurat” menurut bahasa berarti an naqshu (kekurangan). Dan dalam istilah syar’iy (agama), kata aurat berarti: sesuatu yang wajib di tutup dan haram dilihat. Dan para ulama telah bersepakat tentang kewajiban menutup aurat baik dalam shalat maupun di luar shalat. [1]

Menjaga aurat adalah konsekuensi logis dari konsep menundukkan pandangan, atau sering pula disebut sebagai langkah kedua dalam mengendalikan keinginan dan membangun kesadaran, setelah konsep menundukkan pandangan. Dari itulah dua hal ini diletakkan dalam satu rangkaian ayat yang mengisyaratkan adanya hubungan sebab akibat, atau keduanya sebagai dua langkah strategis yang saling mendukung.

Hakikat menutup Aurat

Hakikat pakaian menurut Islam ialah untuk menutup aurat, yaitu menutup bagian anggota tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang lain. Syariat Islam mengatur hendaknya pakaian tersebut tidak terlalu sempit atau ketat, tidak terlalu tipis atau menerawang, warna bahannya pun tidak boleh terlalu mencolok, dan model pakaian wanita dilarang menyerupai pakaian laki-laki. Selanjutnya, baik kaum laki-laki maupun perempuan dilarang mengenakan pakaian yang mendatangkan rasa berbangga-bangga, bermegah-megahan, takabur dan menonjolkan kemewahan yang melampaui batas.

WANITA-WANITA PENGUKIR SEJARAH (5)

Rating:★★★★★
Category:Other
Pada artikel sebelumnya telah dibahas profil beberapa wanita pengukir sejarah dari kalangan ummahat al-mukminin dan anak-anak Rasulullah SAW. Pada bagian ini akan dibahas dari kalangan para shahabiyah. Pembaca yang budiman, kami ucapkan selamat menyimak!

C. Para Sahabat dari Kalangan Wanita

1. ASMA' BINTI ABU BAKAR

Nama lengkapnya adalah Asma’ binti Abdullah bin Utsman Abi Bakar As-Sidik. Lahir pada tahun 27 sebelum Hijriyah, dan termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam (Assabiqun Awwalum). Menikah dengan Zubair bin Awwab yang dikenal sebagai salah satu dari orang-orang yang telah dijanjikan masuk surga. Bahkan ia merupakan ibu dari Abdullah bin Zubair yang dikenal sebagai salah satu dari ke empat orang-orang terkemuka dalam bidang Hadits (al Ibadalah al Arbaah). Maka tidaklah mengherankan sekali, jika kelahirannya pula merupakan kelahiran pertama yang dirayakan di Madinah. Dan tak hanya itu saja, ayah, ibu, suami, anak, dan saudara perempuan Asma’ bin abu Bakar, merupakan sahabat-sahabat Nabi yang setia.

la mempunyai pengalaman yang sangat penting dalam hidupnya. Yaitu di saat ia beranjak meninggalkan rumah Abu Bakar As-Sidik menuju Madinah bersama Rasulullah. Pada saat itu, ia tak menemukan sebuah solusi yang dapat menyelesaikan rasa hausnya di saat melakukan perjalanan jauh bersama para sahabat dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia berkata kepada Abu Bakar bahwa ia tidak menemukan sebuah solusi yang dapat membantu permasalahan itu kecuali hanya sebuah tekad saja. Maka, menjawablah Abu Bakar “selesaikanlah permasalahan itu melalui dua hal. Pertama selesaikan rasa hausmu itu, sedang yang kedua adalah bahwa Hijrah Rasulullah itu harus sampai pada tujuan.” Dua permasalahan itulah, pada akhirnya dijuluki sebagai prasasti dua kemampuan.

Abu Jahal pernah berkata kepadanya tentang keberadaan ayah Asma’ bin Abu Bakar. la mengatakan kepada Abu Jahal Bahwa ia tidak mengetahui keberadaan Ayahnya. Abu Lahab spontan langsung mengusap muka Asma’ dan merampas serta membuang perhiasan yang senantiasa menghiasi hidungnya.

Kakeknya yang bernama abu Khahah juga pernah meminta kepada Asma’ harta peninggalan ayahnya setelah melakukan Hijrah bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. la ingin meminta keseluruhan harta itu. Melihat fenomena itu, Asma’ bergegas menuju sebuah kotak yang penuh dengan batu dan meletakkan tangan kakeknya itu di atas kotak tersebut. Sehingga sang kakek menyangka bahwa ayah Asma’ telah mewariskan harta benda yang sangat banyak kepada Asma’.

la merupakan salah satu Sahabat Nabi yang ikut menyaksikan dan mengalami secara langsung perang Yarmuk. la melakukan perang itu bersama dengan suaminya (Zubair). la meminta kepada anaknya untuk senantiasa menjadi seorang pemberani dan berkemauan keras. Ini terbukti di saat Bani Umayyah hendak membunuh anaknya itu. Pada saat itu sang anak berkata kepada Asma’: bahwa ia takut bernasib sama dengan ahli Syam. Asma’ spontan menjawab perkataan anaknya itu bahwa “apa yang ditakutkan oleh seekor domba di saat telah di sembelih?” Artinya tidak ada yang perlu ditakutkan di saat nasi telah menjadi bubur, yaitu sebuah keharusan untuk melawan Bani Umayyah.

Dan ketika Al Hijaj bin Yusuf Al Thaqfi yang telah membunuh anaknya mengunjunginya seraya berkata kepadanya “bagaimana mungkin engkau menganggapku sebagai musuh Allah? Maka menjawablah Asma’ “di saat engkau telah membunuh anak kandungku itu, maka akhiratmu pasti akan merugi!. Spontan al Hijaj bin Yusuf membela dirinya, dengan berkata “anakmu telah melakukan kekafiran di muka bumi ini.” Namun Asma’ membantah perkataan tersebut. la berkata dengan sangat lantang “engkau benar-benar seorang pendusta!.”

Ia meriwayatkan 56 Hadits Nabi, dan 26 di antaranya terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Asma’ bin Abu Bakar meninggal dunia di Mekah pada usia seratus tahun. Anehnya pada usia yang begitu lanjut itu, tak ada satu pun giginya yang patah, dan otaknya masih sangat sehat dan berjalan sebagaimana mestinya, tidak sebagaimana orang-orang tua lainnya. Ia merupakan orang Muhajirin yang terakhir meninggal dunia.


2. ASMA’ BINTI UMAIS

Nama lengkapnya adalah Asma’ binti Umais bin Maad bin Haris bin Tayim bin Haris al Khats’ami. la juga termasuk salah satu orang-orang yang awal masuk Islam. la ikut serta melakukan Hijrah menuju Habsy. Hijrah itu ia lakukan bersama suaminya yang bernama Ja’far bin abi Thalib, dan kemudian kembali dari hijrah bersamanya pula pada tahun 7 Hijriah.

la pernah bersitegang dengan Umar Ra. Yaitu di saat Umar Ra mendatangi Khafshah anaknya yang pada waktu bersama dengan Asma’. la langsung bertanya “siapakah dia?”. Menjawablah Khafshah, “ia adalah Asma’ binti Umais.” Lalu Umar bertanya lagi “apakah dia seorang yang berkebangsaan Habsy?”. Asma’ langsung menjawab “iya”. Berkatalah Umar untuk kesekian kalinya “Hijrah kita lebih dahulu daripada hijrahnya bangsa kalian, dan kita mempunyai kedekatan dengan Rasulullah daripada kalian.” Mendengar perkataan itu, ia langsung berujar, “demi Allah, perkataanmu itu tidak benar.” Kalian lebih diuntungkan di saat bersama dengan Rasulullah. Rasulullah lah yang telah memberi makanan kepada kalian dan juga telah mengeluarkan kalian dari kebodohan. Ini berbeda sekali dengan kita yang berada di tempat yang sangat jauh, sehingga tak memungkinkan Rasulullah memberi kita makan maupun minum. Kita selalu dihinggapi rasa ketakutan dan kesedihan lantaran keimanan kita kepada Rasulullah. Ini semua murni karena keimanan kita kepadanya. Dan perkataanmu (Umar) tadi akan aku laporkan kepada Rasulullah apa adanya, tanpa mereduksi atau menambahi sedikitpun dari perkataanmu tadi.

Kemudian, di saat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam datang menghampiri mereka, berkatalah Asma’ “ya Rasulullah Umar telah berkata semacam itu.” Berkatalah Rasulullah, “apa yang kamu katakan kepada Umar?”. Menjawablah Asma’ dan mengatakan kepada Rasulullah sebagaimana yang telah ia katakan kepada Umar. Menjawablah Rasulullah “tidak ada orang yang lebih berhak atas diriku dari pada kalian. Umar dan Sahabatnya hanya melakukan Hijrah sekali saja, berbeda dengan kalian yang telah melakukan Hijrah bersamaku sebanyak dua kali.” Mendengar perkataan itu, Asma’ dan orang-orang yang telah melakukan Hijrah ke tanah Habsy merasa bergembira sekali.

Di saat Ja’far bin Mu’nah meninggal dunia, Asma’ kemudian menikah dengan Abu Bakar. Namun di saat abu Bakar meninggal dunia juga, Ali bin Abi Thaliblah yang menjadi suaminya yang terakhir. la merupakan seorang sahabat yang pernah melakukan Hijrah selama dua kali, menjadi istri dua Khalifah Islam yang kedua-duanya mati dalam keadaan syahid, dan juga merupakan salah seorang pengikut rasul yang menjalani shalat menghadap dua Kiblat; yaitu Baitul Maqdis dan Mekah.

Anak-anaknya yang bernama Abdullah bin Ja’far dan Muhammad bin abi Bakar adalah dari suami Abu Bakar As-siddik, sedang Muhammad dan Yahya adalah dari suami Ali bin abi Thalib. Anaknya yang paling sombong adalah Muhammad bin Ja’far dan Muhammad bin abi Ja’far Ini terlihat di saat keduanya saling mengatakan satu sama lain “aku lebih mulia daripada kamu. Ayahku lebih baik daripada ayahmu.” Perkataan itu dilontarkan di hadapan ibu dan All bin abi Thalib. Di saat mendengar ungkapan itu, Ali meminta kepada Asma’ untuk meluruskan kedua anaknya itu. Asma’ langsung berkata “aku tak pernah melihat pemuda Arab yang lebih baik dari Ali, dan juga tak pernah melihat orang tua yang lebih arif daripada Abu Bakar.” Mendengar perkataan itu, Ali langsung mengatakan “kamu tak pernah mewariskan sesuatu kepadaku, apabila kamu mengatakan sesuatu yang tak seperti yang kamu katakan tadi, maka aku pasti akan membencimu.”

Kemuliaan derajat Asma’ terlihat pula dari perkataan Nabi bahwa Maimunah istri Nabi, Ummu Fadil istri Abas, Asma’ binti Umais istri Ja’far dan Istri Hamzah adalah sekelompok wanita yang dijuluki sebagai persaudaraan wanita-wanita beriman.” Maka tidak mengherankan sekali jika Umar bin Khaththab juga pernah meminta kepadanya untuk menafsirkan mimpinya. Asma’ juga merupakan seorang perawi Hadits. la meriwayatkan Hadits Nabi sebanyak 60 Hadits.


3. ASMA’ BINTI YAZID

Nama lengkapnya adalah Asma’ binti Yazid bin Sukun bin Rafi’. la termasuk dari golongan kaum Anshar. la juga dijuluki sebagai juru bicara kaum wanita, sebab tak ada satupun wanita Arab yang mampu menandingi kepiawaiannya dalam berkhutbah. la termasuk wanita yang sangat pemberani dan tangguh. la terjun langsung dalam perang Yarmuk dan berhasil membunuh 9 tentara Romawi yang sedang berada dalam persembunyiannya.

la pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang sedang bersama para Sahabatnya. Asma’ binti Yazid berkata kepada Rasulullah “Engkau bagaikan ibu dan sekaligus ayahku wahai Rasul.” Keberadaanku di sini adalah untuk mewakili para wanita. Bahwasanya Allah telah mengutusmu untuk segenap laki-laki dan perempuan. Kami mengimanimu dan juga Tuhanmu. Aku akan memberitahukan kepadamu, bahwa kita kaum wanita tak mempunyai gerak yang leluasa tak sebagaimana laki-laki. Amal perbuatan kami hanya sebatas amal perbuatan yang bersifat rumah tangga saja, tempat pelampiasan nafsu kalian dan sekaligus untuk mengandung dan melahirkan anak-anak kalian pula. Ini berbeda dengan kalian semua wahai kaum laki-laki! Kalian melebihi kami dalam hal berjamaah, menjenguk orang sakit, mengantarkan mayat ke kuburan, Haji, dan yang lebih utama lagi adalah kemampuan kalian untuk melakukan Jihad di jalan Allah. Amal perbuatan kami di saat kalian pergi Haji atau melakukan Jihad hanya sebatas menjaga harta, mencuci pakaian, dan mendidik anak-anak kalian pula. Oleh karena itu, kami ingin bertanya kepada kalian, apakah amal perbuatan kami itu pahalanya bisa disetarakan dengan amal perbuatan kalian?

Mendengar perkataan tersebut, Rasulullah sempat tersentak dan seketika itu langsung menoleh kepada para sahabatnya, seraya berkata “apakah kalian pernah mendengar sebuah perkataan yang lebih baik daripada perkataan seorang wanita yang sedang membahas permasalahan-permasalahan agamanya?

Menjawablah para sahabat Rasul: ‘wahai Rasul kami sama sekali tidak menyangka kalau para wanita mempunyai keinginan yang mulia semacam itu.’ Kemudian Rasulullah menoleh kepada Asma’ bin Yazid, seraya berkata: “engkau pahamlah dan sampaikanlah apa yang akan aku katakan nanti kepada wanita-wanita selainmu. Bahwa perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya, dan meminta keridhaan suaminya, mengikuti (patuh terhadap) apa yang ia disetujuinya, itu semua setimpal dengan seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum lelaki”. Mendengar jawaban Nabi itu, Asma’ langsung beranjak pergi meninggalkan tempat itu seraya mengucapkan tahlil dan takbir merasa gembira dengan apa disabdakan Rasuslullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

la juga termasuk periwayat Hadits Nabi. Banyak sekali para perawi Hadits yang meriwayatkan Hadits darinya. la telah meriwayatkan sekitar 80 Hadits Nabi.


4. NASIBAH BINTI KA’AB

Nama lengkapnya adalah Nasibah binti Ka’ab bin Umar bin Auf Al-Khazrajiah. la merupakan wanita pertama kaum Anshar yang bersedia berikrar kepada Nabi.

la pernah mendatangi Nabi dan berkata “aku tidak pernah melihat segala sesuatu kecuali hanya diperuntukkan kepada laki-laki. Keberadaan wanita sama sekali tak pernah dianggap.” Menanggapi perkataan Nasibah itu, turunlah ayat yang mengatakan:” Sesungguhnya laki-laki dan perempuan-perempuan muslim, laki-laki dan perempuan-perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan-perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan-perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan-perempuan yang penyabar, laki-laki dan perempuan-perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan-perempuan yang rajin bersedekah, laki-laki dan perempuan-perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan-perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan-perempuan yang senantiasa menyebut (nama) Allah, telah disiapkan oleh Allah sebuah ampunan dan pahala besar” (al Ahzab: 35).

la ikut serta dalam beberapa perang besar bersama Nabi. la berperan melayani dan membantu para mujahidin, memberi dorongan kepada orang-orang yang sedang berperang, menghilangkan keraguan pada diri mereka, dan bahkan di saat waktu memungkinkan ia juga tak ragu lagi untuk menghunus senjata dan berperang sebagaimana layaknya seorang perwira.

Ia bersama dengan suami dan anaknya terjun pula dalam perang Uhud. la sempat terluka parah di saat kemenangan mulai berada di pihak orang-orang kafir. Pakaiannya tercabik-cabik karena sayatan senjata. la berada dalam naungan Rasulullah dalam keadaan tubuh penuh luka, akibat pukulan dan lemparan anak panah. Luka dalam tubuhnya sekitar 12 luka. Pada waktu itu, ibunya senantiasa mendampingi dan berusaha membalut luka-luka Nasibah itu.

Dan di saat Nabi hendak dibunuh oleh Ibnul Qum’ah, Nasibah merupakan orang yang melindungi Nabi. la melawan Ibn Qum’ah yang hendak membunuh Nabi dengan melontarkan beberapa pukulan kepadanya. Ibnul Qum’ah pun membalas pukulan-pukulan itu. la memukul pundak Nasiah hingga mengakibatkan goresan pada punggungnya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah membicarakannya: “bahwa derajat Nasibah pada hari ini lebih tinggi daripada derajat siapa pun, aku (Nabi) selalu melihatnya ditempat manapun, aku senantiasa melihat Nasibah sedang berperang di belakangku.” Nabi juga pernah berkata kepada anak Nasibah yang bernama Abdullah: “semoga Allah senantiasa memberkati kalian semua yang tergolong Ahli Bait. Derajat ibu mu lebih tinggi daripada derajat siapa pun. Derajat suami ibumu juga lebih tinggi daripada derajat siapa pun. Dan derajatmu pula lebih tinggi daripada derajatnya siapa pun. Allah benar-benar telah memberkati kalian semua yang termasuk Ahli Bait.” Kemudian Nasibah berkata kepada Rasulullah: “wahai Rasul, berdoalah kepada Allah agar kami bisa menyertaimu di surga nanti.” Berdoalah Rasulullah, “Ya Allah jadikanlah mereka teman-temanku di surga nanti.” Mendengar doa Rasulullah itu, Nasibah berkata: “aku tidak akan merasa resah setelah ini, dan aku tak akan merasa menderita karena permasalahan-permasalahan duniawiku. ”

Pada hari Hudaibiyah, di saat kaum muslimin mendengar sebuah isu bahwa Utsman telah dibunuh oleh kaum Quraisy di tengah-tengah Nabi sedang menyumpah orang-orang yang akan masuk Islam, Nasibah serentak berdiri dengan mengambil sebuah tongkat dan menjadikannya sebagai senjata. la memperuncing tongkat tersebut dengan pisau agar bisa dijadikan sebagai senjata yang mematikan.

Dan pada hari Khunain, ia pun ikut terjun dalam peperangan untuk semakin mengukuhkan kemenangan umat Islam. la membunuh seorang pemuda dari kabilah Hawazin yang sedang dalam keadaan terjepit, merebut senjatanya dan kemudian berperang lagi dengan menggunakan senjata itu.

la ikut pula memerangi orang-orang yang keluar dari agama Islam pada masa pemerintahan Abu Bakar. la juga ikut serta dalam perang Yamamah bersama Khalid bin Walid untuk menghadapi Musailamah ‘sang pendusta’.

Namun, Musailamah malah memotong tangan Nasibah, dan melukainya sebanyak 10 luka, yang akhirnya menjadikan Abu Bakar menganjurkan agar Nasibah dibawa pulang. Dan tak hanya itu saja, Musailamah juga mampu membunuh anak Nasibah yang bernama Habib bin Zaed setelah terlebih dahulu ia potong tangan dan kakinya.

Salah satu Hadits yang diriwayatkan oleh Nasibah adalah: bahwasanya Rasulullah pernah mendatangi Nasibah seraya menawarkan makanan kepadanya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berkata kepadanya “makanlah”, menjawablah Nasiah “aku sedang dalam keadaan berpuasa.” Mendengar perkataan itu Rasulullah langsung bersabda “para Malaikat akan selalu melakukan shalat bagi orang-orang yang berpuasa sehingga mereka senantiasa merasa kenyang akibat shalat yang dilakukan oleh para Malaikat tersebut.


Rahasia 1 Syawal

Rating:★★★
Category:Other
dakwatuna.com – Dengan datangnya 1 Syawal, otomatis bulan Ramadhan telah pergi. Pergi meninggalkan kita, untuk kemudian datang lagi di tahun yang akan datang. Kita tidak tahu apakah kelak akan bertemu lagi dengan Ramadhan, atau ternyata ini adalah Ramadhan yang terakhir. Banyak suadara kita yang sebenarnya ingin menikmati Ramadhan tahun ini, tetapi ternyata ajal segera menjemptnya beberapa detik sebelum memasukinya. Karenanya kita sangat bersyukur bahwa Allah swt. telah memberikan kesempatan kepada kita bisa bertemu dengan Ramadhan tahun ini.

Benar 1 Syawal telah tiba. Dan kita tidak serta merta gembira, karena di saat yang sama kita harus berpisah dengan Ramadhan. Perpisahan yang sangat mengharukan. Bayangkan selama Ramadhan kita telah mendapatkan suasana yang dalam, di mana kita dihantarkan kepada nuansa ketaatan yang tak terhingga. Nafsu yang selama ini diagungkan manusia, ternyata dengan Ramadhan, nafsu ini tidak berdaya. Setan yang selama ini sangat kuat menguasai manusia, ternyata dengan Ramadhan tersingkirkan. Kita bisa setiap saat membaca Al Qur’an selama Ramadhan, di mana di luar Ramadhan itu sangat sulit kita lakukan. Di malam hari kita selalu bangun sebelum fajar dan shalat subuh berjamaah di masjid, padahal itu sangat sedikit yang melakukannya di luar Ramadhan. Pun tangan kita terasa ringan berinfak selama Ramadhan, sementara di luar Ramadhan itu sangat berat dilakukan. Lebih jauh, kita bisa beri’tikaf -atau minimal selalu di masjid sepanjang malam- terutama pada 10 malam terakhir Ramadhan, dan kita tahu bahwa itu sangat jarang dapat kita lakukan di luar Ramadhan.

Berpisah dengan Ramadhan memang tidak dapat dibandingkan dengan perpisahan yang lain. Berpisah dengan Ramadhan adalah perpisahan dengan suasana ruhani yang sangat kental dan menguatkan iman. Itulah yang membuat airmata harus menetes. Menetes bukan karena kesedihan murahan, yang datang dari sentuhan emosional belaka. Melainkan menetes kerena kesedihan yang memancar dari gelora iman. Menetes karena takut bila setelah Ramadhan suasana keimanan itu melemah kembali tergerogoti dosa-dosa. Takut kalau lidah kita ini berat kembali bertasbih dan membaca Al Qur’an. Takut kalau malam-malam kita kembali diwarnai tawa dan hiburan yang melalaikan. Takut kalau hati ini kembali keras dan sulit menerima sentuhan ayat-ayat Al Qur’an. Karena itu kita berdoa, semoga kita bisa bertemu lagi dengan Ramadhan di tahun yang akan datang.

Tapi apapun, tanggal 1 Syawal telah datang. Kita harus menerima kenyataan. Hari Raya adalah hari kegembiraan bagi setiap yang beriman. Gembira karena telah berhasil melepaskan dosa-dosa selama Ramadhan. Gembira karena telah menang terhadap setan dan hawa nafsu. Karena itu kegembiraan ini jangan disambut dengan gelora nafsu belaka. Ingat bahwa setan seringkali masuk melalui nafsu makan. Karena itu, bila nafsu makan dibuka, setan selalu menang menguasai manusia. Oleh sebab itu, begitu Ramadhan pergi, pemandangan durjana seringkali begitu mudah bermunculan. Allah swt. dalam surah An Nashr mengingatkan, bahwa kemenangan tidak pantas disambut dengan tawa dan nafsu. Kemenangan harus disambut dengan tasbih, tahmid, tahlil, dan istighfar. Benar kita harus menyebut kemenagan fitri ini dengan tasbih tahmid, tahlil dan istighfar. Dengarkan Allah berfirman: fasabbih bihamdika rabbika wastaggfir, innahuua kaana tawwabaa.

Oleh karena itu, 1 Syawal bukan hari pembebasan sebebas-bebasnya. Melainkan hari pertama kita mulai terjun ke medan pertarungan melawan hawa nafsu dan setan, seteleh sebulan penuh kita berbekal iman dan kekuatan ruhani. Karena itu kita harus menang. Kita harus kendalikan nafsu itu ke arah yang positif, bukan malah dikendalikan nafsu ke arah yang buruk. Kita harus bergegas dalam kebaikan-kebaikan seperti kita dalam suasana Ramadhan. Bila kita kalah berarti perbekalan kita selama Ramadhan tidak maksimal. Tidak sungguh – sungguh. Tidak sedikit dari saudara-saudara kita seiman, yang langsung KO justru pada tanggal 1 Syawal. Artinya, begitu mereka masuk bulan Syawal seketika itu mereka terperosok dalam gelimang dosa.

Nabi saw. tidak ingin kita kalah lagi. Itulah rahasia mengapa kita disunnahkan menambah puasa lagi minimal 6 hari di antara bulan Syawal. Nabi bersabda: bahwa siapa yang menambah puasa 6 hari di bulan Syawal, ia akan mendapatkan pahala puasa setahun, seperti pahala puasa yang didapat umat-umat terdahulu. Mengapa puasa Syawal? Ini suatau isyarat bahwa kita harus terus mempertahnkan diri seperti dalam suasana Ramadhan. Suasana di mana kita tetap dekat kepada Allah swt. Sebab seorang yang menahan nafsunya, tidak akan didekati setan. Bila setan menjauh maka malaikat mendekatinya. Bila malaikat mendekatinya otomatis ia akan semakin dekat kepada Allah. Ingat bahwa seorang yang dekat kepada Allah, ia akan mendapat keutamaan yang luar biasa: tidak saja doa-nya mustajab, melainkan lebih dari itu ia akan dijauhkan dari rasa sedih dan galau. Allah befirman: “alaa inna awliyaa Allahi laa khawfun ‘alaihim walaa hum yahazanuun (ketahuilah bahwa orang-orang yang dekat kepada Allah mereka tidak akan mendapatkan rasa takut atau kekhawatiran dan tidak akan pernah dirundung kesedihan).”

Terakhir, pada 1 Syawal kali ini marilah kita sama-sama membuka hati, buang jauh segala penyakit dengki dan hasud di hati, bersihkan jiwa kita dari berbagai beban penyakit, sayangi diri kita dengan meningkatkan iman bukan dengan memanjakan diri dalam dosa-dosa. Mari kira saling mengucapakan: Selamat hari raya, taqabbalahhu minnaa waminkum shaalihal a’maali, wa kullu ‘aamin wa antum bikhairin (semoga Allah menerima amal-amal baik kita, dan semoga dalam semua hari-hari sepanjang tahun kita selalu dalam kebaikan). Amin. Wallahu a’lam bishshowab.

Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Rating:★★★★★
Category:Other
dakwatuna.com – Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر

“Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).

Filosofi pahala puasa 6 hari di bulan Syawal setelah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sama dengan puasa setahun, karena setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya.

Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya:

1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.

2. Puasa Syawal dan Sya’ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Taala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: “Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya.” Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.

4. Puasa Ramadhan – sebagaimana disebutkan di muka – dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya ‘ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah ‘Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.

5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.

Sebaiknya orang yang memiliki utang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan utangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.

Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Taala pada bulan Ramadhan adalah disyariatkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya: ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.

Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan sahabatnya.