Translate

Jumat, 29 Oktober 2010

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) [QS.Ali-Imran: 14]

Menolak Karena CInta

Bismillahirrohmanirrohiim....

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh....

Permisi..., numpang meramaikan ah,, setelah neng lia buat tulisan itu, hehe...

Inspirasi awal muncul dari artikel di sini

Di artikel itu ada kisah mengenai Salman Al Farisi, ingatkah tentang penolakan yang diterimanya???

Salman Al Farisi, lelaki Persia yang baru bebas dari perbudakan fisik dan perbudakan konsepsi hidup itu ternyata mencintai salah seorang muslimah shalihah dari Madinah. Ditemuinya saudara seimannya dari Madinah, Abud Darda’, untuk melamarkan sang perempuan untuknya.

“Saya,” katanya dengan aksen Madinah memperkenalkan diri pada pihak perempuan, “Adalah Abud Darda’.”

“Dan ini,” ujarnya seraya memperkenalkan si pelamar, “Adalah saudara saya, Salman Al Farisi.” Yang diperkenalkan tetap membisu. Jantungnya berdebar.

“Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya,” tutur Abud Darda’ dengan fasih dan terang.

“Adalah kehormatan bagi kami,” jawab tuan rumah atas pinangan Salman, ”Menerima Anda berdua, sahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang sahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada putri kami.” Yang dipinang pun ternyata berada di sebalik tabir ruang itu. Sang putri shalihah menanti dengan debaran hati yang tak pasti.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili putrinya. ”Tapi, karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman.”

Ah, romansa cinta Salman memang jadi indah di titik ini. Sebuah penolakan pinangan oleh orang yang dicintainya, tapi tidak mencintainya. Salman harus membenturkan dirinya dengan sebuah hukum cinta yang lain, keserasaan. Inilah yang tidak dimiliki antara Salman dan perempuan itu. Rasa itu hanya satu arah saja, bukan sepasang.

Salman ditolak. Padahal dia adalah lelaki shalih. Lelaki yang menurut Ali bin Abi Thalib adalah sosok perbendaharaan ilmu lama dan baru, serta lautan yang tak pernah kering. Ia memang dari Persia, tapi Rasulullah berkata tentangnya, “Salman Al Farisi dari keluarga kami, ahlul bait.” Lelaki yang bertekad kuat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus diri seharga 300 tunas pohon kurma dan 40 uqiyah emas. Lelaki yang dengan kecerdasan pikirnya mengusulkan strategi perang parit dalam Perang Ahzab dan berhasil dimenangkan Islam dengan gemilang. Lelaki yang di kemudian hari dengan penuh amanah melaksanakan tugas dinasnya di Mada’in dengan mengendarai seekor keledai, sendirian. Lelaki yang pernah menolak pembangunan rumah dinas baginya, kecuali sekadar saja. Lelaki yang saking sederhana dalam jabatannya pernah dikira kuli panggul di wilayahnya sendiri. Lelaki yang di ujung sekaratnya merasa terlalu kaya, padahal di rumahnya tidak ada seberapa pun perkakas yang berharga. Lelaki shalih ini, Salman Al Farisi, ditolak pinangannya oleh perempuan yang dicintanya.

Salman ditolak. Alasannya ternyata sederhana saja. Dengarlah. “Namun, jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka putri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan,” kata si ibu perempuan itu melanjutkan perkataannya. Anda mengerti? Si perempuan shalihah itu menolak lelaki shalih peminangnya karena ia mencintai lelaki yang lain. Ia mencintai si pengantar, Abud Darda’. Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak.


Ada juga kisah Fatimah, putri Rasulullah...,, dalam kisahnya pun Rasulullah menolak pinangan dari kedua sahabat kesayangannya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab... Alasannya jelas,, Rasulullah mengetahui bahwa Fatimah mencintai Ali bin Abi Tholib.... *kisah mereka sudah cukup sering dibahas jadi ga perlu diceritain panjang2 yaa


Another Story.....

Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah. “Wahai Rasulullah,” kata lelaki itu, “Seorang anak yatim perempuan yang dalam tanggunganku telah dipinang dua orang lelaki, ada yang kaya dan yang miskin.”

“Kami lebih memilih lelaki kaya,” lanjutnya berkisah, “Tapi dia lebih memilih lelaki yang miskin.” Ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah atas sikap yang sebaiknya dilakukannya. “Kami,” jawab Rasulullah, “Tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pernikahan bagi dua orang yang saling mencintai, lam nara lil mutahabbaini mitslan nikahi.”

Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak. Di telinga dan jiwa lelaki ini, perkataan Rasulullah itu laksana setitis embun di kegersangan hati. Menumbuhkan tunas yang hampir mati diterpa badai kemarau dan panasnya bara api. Seakan-akan Rasulullah mengatakannya khusus hanya untuk dirinya. Seakan-akan Rasulullah mengingatkannya akan ikhtiar dan agar tiada sesal di kemudian hari.

“Cinta itu,” kata Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah dalam Tahrirul Ma’rah fi ‘Ashrir Risalah, “Adalah perasaan yang baik dengan kebaikan tujuan jika tujuannya adalah menikah.” Artinya yang satu menjadikan yang lainnya sebagai teman hidup dalam bingkai pernikahan.

Dengan maksud yang serupa, Imam Al Hakim mencatat bahwa Rasulullah bersabda tentang dua manusia yang saling mencintai. “Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai,” kata Rasulullah, “Seperti halnya pernikahan.” Ya, tidak ada yang lebih indah. Ini adalah perkataan Rasulullah. Dan lelaki ini meyakini bahwa perkataan beliau adalah kebenaran. Karena bagi dua orang yang saling mencintai, memang tidak ada yang lebih indah selain pernikahan. Karena cintalah yang menghapus fitnah di muka bumi dan memperbaiki kerusakan yang meluas, insya Allah.

Cinta adalah argumentasi yang shahih untuk menolak, dan cinta adalah argumentasi yang shahih untuk mempermudah jalan bagi kedua pecinta berada dalam singgasana pernikahan.


Kurang lebih seperti itulah isi artikelnya, meski diawali dengan hadits:
“Bila seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya meminang,” kata Rasulullah mengandaikan sebuah kejadian sebagaimana dinukil Imam At Tirmidzi, “Maka, nikahkanlah dia.” Rasulullah memaksudkan perkataannya tentang lelaki shalih yang datang meminang putri seseorang. “Apabila engkau tidak menikahkannya,” lanjut beliau tentang pinangan lelaki shalih itu, “Niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.”

Tapi ditutup dengan hadits,
Tidak ada yang bisa dilihat (lebih indah) oleh orang-orang yang saling mencintai,”
kata Rasulullah, “Seperti halnya pernikahan.”

Sangat jelas, bahwa Islam membuka ruang seluas-luasnya bagi seorang wanita untuk menentukan dengan siapa ia menikah, tak ada paksaan untuk menerima pinangan seorang pria yang tidak diinginkannya. Islam juga sangat menghargai fitrah manusia, rasa cinta adalah fitrah, tak bisa dihilangkan dan dibuang begitu saja. Selama rasa itu tidak berbuah dosa,, selama rasa itu mampu dikendalikan bukan malah merusak kendali diri kita, selama rasa itu disalurkan pada saluran yang tepat (pernikahan, red),,,

Seorang beriman memiliki pegangan dan pedoman dalam "mencinta". Agar cinta itu tumbuh subur menjadi indah dan bernilai ibadah, bukan tumbuh liar dan jalang melahirkan dosa.


Menolak karena cinta, dalam pandangan yang lain, dalam perspektif lain, punya nilai yang berbeda...
Sebagian pencinta sejati ada yang justru memilih mencintai yang dinikahi, bukan menikahi yang dicintai. Artinya, mereka memilih menumbuhkan cinta itu setelah mitsaqon gholizho dilafadzkan, akad ditunaikan, dan cinta telah dihalalkan bagi keduanya. Mereka lebih memilih menjaga hatinya hingga saat itu tiba daripada menikmati rasa yang belum waktunya hadir...


Bahkan, terkadang seorang pecinta sejati memilih menolak pinangan pria yang dicintai/ pernah dicintainya... Atau ia memilih meminang wanita yang tidak pernah dicintainya sebelumnya ketimbang meminang wanita yang sempat ada di hatinya. Sebuah keputusan berat, bukan? Di saat kita memiliki pilihan untuk menikah dengan seseorang yang kita cintai, tapi justru menjatuhkan pilihan tuk melupakan cinta yang belum halal itu dan menjemput pasangan suci yang belum pernah dicintainya sebelumnya, dengan keyakinan cinta yang halal kan jauh lebih indah dan berkah....

Mereka adalah orang-orang yang "mengorbankan" cintanya.... Salahkah???
Tidak ada yang salah bagi orang yang mencintai, karena cinta itu selalu melahirkan kebaikan dan keindahan... Jika cinta melahirkan malapetaka, dosa, kemaksiatan, kelalaian, dan keburukan lainnya maka tak layak ia disebut cinta, itu hanyalah nafsu yang mengalahkan cinta... Jangan salahkan cinta, bukan cinta yang layak dikambinghitamkan... Tapi manusianya, dia gagal mengendalikan cinta, cinta dalam balutan nafsu, nafsunya justru menguasai dirinya dan membuatnya buta.

Kembali ke topik, mangapa harus menolak jika mencintainya? Mengapa tak memilihnya yang dicintai?

Itu adalah pilihan sadarnya, pilihan yang membuatnya merasa lebih tenang karenanya. Menikah adalah ibadah, penyempurnaan separuh dien,, sungguh merugi jika dikotori dengan niat yang kurang bersih. Meski kecil, tapi terkadang rasa cinta itu lebih mendominasi seseorang untuk menunaikan ibadah ini. Menikah karena jatuh cinta padanya, lalu dimana letak menikah karena Allah? Ini adalah pilihannya, ia lebih memilih membersihkan niatnya, meluruskan langkahnya, menjalani prosesnya dengan semurni-murninya Lillahi ta'ala, ia khawatir jika memilih/ menerima yang memang sudah dicintainya sebelumnya akan merusak niatnya... Tidak salah, kan?

Dengan alasan ini pula, sebagian orang mempercayakan jodohnya ke tangan "guru ngaji"-nya, atau bahkan menerima pernikahan atas putusan syuro', demi kepentingan jama'ah, atas nama dakwah, pernikahan dengan visi dakwah.... Konyol? Gak juga.... Toh, sebenarnya jodoh setiap jiwa telah tertulis di Lauh Mahfudz, tak kan tertukar, hanya saja caranya berikhtiar yang berbeda-beda.., cara inilah yang bisa kita pilih..., mau mencari sendiri, mau dicariin, mau diproses sendiri, mau melalui orang tua, melalui teman, melalui ustadz/ah, mau pake pacaran dulu, mau pake acara VMJ dulu, pake main hati dulu, mau via jalan bersih atau jalan kotor,.... Tinggal pilih aja mau lewat mana, mau masuk lewat pintu depan, pintu belakang, jendela, atap rumah, loncat pagar... Toh akhirnya masuk-masuk juga...., toh akhirnya nikah-nikah juga dengan jodoh kita..., menikah dengan orang yang sama tapi dengan cara yang sesuai pilihan.

Pada akhirnya kita yang menjalani, kita yang memilih, kita yang mengetahui apa yang terbaik untuk kita.... menikahi yang dicintai atau mencintai yang dinikahi? Apapun itu,, tentu keberkahannya lah yang utama,,

Berkah adalah saat Allah meridhoi, saat diawali dengan niat yang baik, niat yang lurus, Lillahi ta'ala, dijalani prosesnya dengan bersih, dengan hati yang tetap terjaga, dengan aktivitas yang sesuai syariat. Insya Allah awal yang berkah akan berujung pada pernikahan yang berkah pula, sakinah mawaddah warahmah,, keberkahannya akan terus dirasakan sepanjang pernikahannya....

Namun, jika diawali dengan sesuatu yang tidak baik, niat yang kurang lurus, hati yang tak terjaga, proses yang tidak bersih, aktivitas yang melanggar syariat, apapun yang dapat mengurangi keberkahannya,, maka berhati-hatilah dengan perjalanan pernikahanmu kelak, keberkahannya tak lagi sempurna,, jangan sampai menyesalinya di kemudian hari... Kesalahan mengambil langkah di awal bisa mencelakakan kita dalam perjalanan hidup ini..., tak hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak,,, penyesalan selalu datang di akhir...

Sesungguhnya kebenaran itu hanyalah milik Allah,,, segala khilaf datangnya dari insan lemah ini, saya memohon maaf atas segala keterbatasan dan kesalahan dalam tulisan ini. Mudah-mudahan kita semua bisa mengambil pelajaran dan hikmahnya.... Afwan jiddan...

Astaghfirullahal'adziim
Astaghfirullahal"adziim
Astaghfirullahal'adziim

Alhamdulillahirobbil'aalamiin.....

29 Oktober 2010
-Bunga Karang-

Kamis, 21 Oktober 2010

"Jika kesibukan dpt menimbulkan kelelahan, maka waktu luang akan dpt menimbulkan kerusakan." apa kesibukanmu, saudaraku? Sebaik-baik kesibukan adalah membaca Quran. Sebaik-baik teman duduk adalah buku. Sebaik-baik tempat hiburan adalah perpustakaan. Sebaik-baik majelis adalah halaqah dzikir dan ilmu. Sebaik-baik pengawal adalah amal. Sebaik-baik sahabat adalah yg mengingatkanmu untuk taat kepada ALLAH.

"Jika kesibukan dpt menimbulkan kelelahan, maka waktu luang akan dpt menimbulkan kerusakan." apa kesibukanmu, saudaraku? Sebaik-baik kesibukan adalah membaca Quran. Sebaik-baik teman duduk adalah buku. Sebaik-baik tempat hiburan adalah perpustakaan. Sebaik-baik majelis adalah halaqah dzikir dan ilmu. Sebaik-baik pengawal adalah amal. Sebaik-baik sahabat adalah yg mengingatkanmu untuk taat kepada ALLAH.

[curcol] Ninja dan Hari yang Aneh

Bismillah...

Sungguh hari yang semrawut, lecek bagai baju yang lupa disetrika... Berawal dari pagi yang kesiangan, bukan karena mentari yang lupa terbit tapi karena diri yang malas bangkit... Pagi yang terlalu indah untuk dinikmati dengan aktivitas yang terlalu biasa... Tapi jadi tak biasa setelah ponselku berdering... Tepat pukul 08.10 WIB

"Incoming call from sekret KL"

"halo, bunga, sekarang kuliah foodsafety di sekret kespro, bu agustin udah nunggu, kasih tau temen2nya jg ya! Cepetan, udah ditungguin! Kayaknya ibunya marah." -nada suara panik dan mendesak-
"what? pak, kan kesepakatannya kuliah pindah jadi jam 11.30.. Sekarang saya masih di rumah pak, ga bakal keburu ke kampus mah. Ya udah, saya bilang ke temen2 dulu."-jadi ikutan panik-

*mulai panik bin heboh, secara belum ngapa-ngapain, blm siap2 jg, baru beres mandi doang,, baru aja mau shalat dhuha*padahal perjalanan dari rumah ke kampus makan waktu sekitar 1,5 jam kalau lancar, bener2 tua di jalan :p

*sibuk sms 4 temen kuliah, yah, kita emang sekelas cuman ber-5, jd kalo ampe ada yg ga dateng pasti langsung ketauan*

setelah sms terkirim, langsung melanjutkan dhuha, skalian menenangkan diri...

Beres shalat, cek ponsel ada bbrp misscall n sms. Benar2 sukses bikin panik semua orang, hahay...

Berhubung buru-buru, asal aja ambil baju, dungdung, malah pake rok merah, baju kaos putih + bergo merah hati, sangat kacau.., untung masih pake sepatu, kalo pake sendal jepit kan bisa2 dikira mau ke pasar, wkwkwk...

Asal aja tarik tas, di jalan baru ngeh, ga bawa flash disk, ga bawa laptop, ga bawa kunci ruangan, ga bawa masker, payah!

Buru-buru juga ga ngaruh, ga jd lbh cepat nyampe kampus juga sih,, tetep aja kudu nunggu kereta, halah...

Di stasiun ada yg jual masker warna pink, lucu, langsung beli aja, dan dipake, lumayan matching dg kostum amburadulku hari ini, hahaha...

Karena ngejar waktu yang ga bisa dikejar, terpaksa naik kereta ekonomi biasa,, untungnya di dekatku ga ada yang ngerokok... Eh, di tengah jalan dpt sms ternyata kuliahnya diundur jadi jam 12, cape deeh, fyuh.. Tp tak apalah, jd ga telat :D

09.30 udah nyampe kampus, ada kuliah jam 10, baiklah...

Menyadari sesuatu, sore ini ada jadwal ngasdos, dan penampilanku hari ini amat sangat kacau, padahal yg diasdosin kelas ibu2 bidan komunitas, benar2 merusak citra diri, fufufu.. 1 hal aneh lagi, karena buru2 jd asal tarik jaket dan yg ku pakai adalah jaket adikku yang ternyata tulisannya:
"Muslim brotherhood of IPB"

mana tulisannya gede lagi, jadi berasa kayak anak IPB nyasar di Depok. Pantes aja banyak yang menatapku dg wajah penuh tanda tanya -_-"

Hujan deras, petir bersahut-sahutan, benar2 mencekam...Kekacauan hari ini masih berlanjut, pas lagi ngasdos eeh malah mati lampu, gelap2an deh... Pulang juga ga bisa, ujannya gede sangat. Kereta ikut2an kacau lagi... Setelah shalat maghrib di mushala kampus, lgsg aja beranjak ke stasiun menembus hujan. Wew, banyak orang euy. Tampaknya kereta telat. Bener aja, pas kereta ekonomi masuk, beuuh pinuh pisan euy, jangan tanya kyk gmn di dalamnya, di lantai 2 aja penuh ampe ga ada space. Pastinya, aku memilih duduk manis di peron nunggu kreta brikutnya. Sambil nunggu ketemu ridha n gita. Walaupun wajahku tertutup masker pink, tapi mreka lgsg mengenaliku, tampaknya aku punya mata yang khas jd mudah dikenali, wkwkwk... Walaupun mreka menyebutku, "teh bunga ninja", krn kostumku.. Gapapa dah, tapi kan ninja cantik (halah).

Kereta brikutnya adalah eko AC, bersama ridha ambil posisi di gerbong belakang, gerbong khusus wanita. Kretanya penuh juga euy. Eko AC sensasi ekonomi. Padat sampai sulit bergerak. Tp untung isinya perempuan semua. Saking ramenya, kita ga bisa ambil posisi di tengah kereta alias masuk tp ketahan dkt pintu dan ga bisa gerak. Akibatnya, pas nyampe depok baru, penumpang yg turun buanyak bgt, eh ridha malah kebawa turun dan ketinggalan di depok baru, hiks hiks.. Melanjutkan perjalanan sendiri lagi.. Sungguh hari yang aneh.. Makanya, jangan sisakan sedikitpun waktu buat berleha-leha, bung! Itu tuh akibat sikap santai dan tanpa persiapan. See? Jangan lalai lagi ya! Bersungguh-sungguhlah dalam setiap aktivitas kebaikan...Kalau main-main ya hasilnya juga main-main...Semoga pengalaman hari ini bisa jadi pelajaran berharga...

Tips Aman Makan Indomie

Wah, produk kebanggaan negeri kita tercinta ditolak oleh bangsa taiwan. Konon katanya, produk mie instant kita mengandung pengawet yg berupa zat kimia beracun. Bener ga sih? Nah, buat temen-temen yang doyan makan indomie, baik karena kepraktisannya, harganya yg murah, atau karena rasanya yg terlalu enak, secara buanyak MSGnya gitu loh. Pokonya ni makanan emang pas banget buat anak kostan dg kantong terbatas, masalah gizi, i dont care lah, hahaha.. Back to topic, apa sih tips aman makan indomie?
#selamat mencoba#
1. Siapkan air panas tapi tidak mendidih. Rendam indomie dalam air panas tersebut selama 3 menit.
2. Tiriskan mie, buang air rendamannya.
3. Masukkan mie yang telah ditiriskan dalam air mendidih, rebus selama 1 menit.
4. Siapkan bumbu-bumbunya, mangkok, dan sepiring nasi goreng.
5. Masukkan bumbu-bumbunya ke dalam mie rebus tersebut.









6. Tahap terakhir dan paling penting untuk menyelamatkan anda dari efek toksin indomie adalah









buang saja mie instant-nya, dan makan nasi goreng yang sudah disiapkan...

hehehehe

Kamis, 14 Oktober 2010

Jalan ini memang panjang,, tapi jangan pernah lelah temukan ujungnya...




Sejak masih SMA sampai sekarang, setiap ketemu soal "peluang" selaluuu aja bingung, apalagi kalau pake permutasi dan kombinasi segala, ih makanan jenis apa tuh...,, emang ga bakat jadi pejudi, hahaha.... *puyeng puyeng puyeng

fiqih Dakwah: Persatuan Islam Suatu Kemestian

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com – Ada ciri khas yang menonjol dari umat Islam. Mereka adalah umat tauhid dan satu kesatuan. Sejarah telah memperlihatkan dengan jelas bahwa umat Islam tidak akan dapat bersatu kecuali saat mereka berpegang teguh pada akidah tauhid yang benar. Sebesar penyimpangan mereka terhadap ajaran tauhid yang benar, sebesar itu pula yang membuat umat ini berpecah-belah.

Al-Qur’an telah menggambarkan ikatan tauhid dengan kesatuan pada beberapa ayat: “Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’: 92). “Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al-Mu’minun: 52)

Al-Qur’an selalu mengingatkan umat Islam tentang hakikat mereka sebagai umat yang satu. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)

Al-Qur’an melarang dengan keras perpecahan dan perbedaan. “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali ‘Imran: 105)

Allah mengingatkan orang-orang yang beriman tentang orang-orang kafir yang berpecah belah, dan anjuran agar tidak mengikuti mereka. “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Al-An’aam: 159) “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Ruum: 31-32)

Allah mengingatkan dan menegaskan tentang jalan orang-orang yang keluar dari agama Allah. “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al-Maaidah: 91)

Tidak sedikit orang-orang — dari luar maupun dari dalam– yang menghalangi umat Islam untuk bersatu baik. Dari dalam, orang-orang munafik berusaha sekuat tenaga untuk memecah belah orang beriman dengan memunculkan permusuhan dan perpecahan. “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang. orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudaratan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘Kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (At-Taubah: 107)

“Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 4)

Begitulah syiar orang-orang kafir sejak dulu. Mereka dengan cara dan media yang dimiliki berusaha mengacaukan dan memecah belah umat Islam sebelum mencapai tujuan akhir mereka: menguasai orang-orang beriman.

Ukhuwah Islam

Melalui syariat, akhlaq, dan muamalah, Islam mengokohkan ikatan ukhuwah pemeluknya. Sehingga lima rukun Islam semuanya memiliki nuansa persatuan Islam dan ukhuwah imaniyah. Kaum muslimin di manapun ia berada pasti akan tunduk sepenuhnya kepada syariat dan ajaran Tuhan Yang Satu. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa’: 65)

Umat Islam juga tunduk kepada ajaran kesatuan politik dan ketaatan kepada Tuhan Yang Satu, Rasul teladan yang satu, dan pemimpin mereka yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa’: 59)

Islam mengajarkan semua umatnya untuk bangkit melawan musuh-musuhnya, sehingga jihad menjadi fardu ‘ain bila negeri Islam diserang musuh. “Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 36). “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 193)

Menolong orang-orang yang tertindas adalah kewajiban umat Islam yang mampu bertindak dan menolong mereka. “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau.” (An-Nisaa’: 75). “Mereka berkata, ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.’ Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munaafiquun: 8)

Karena itu, Islam meletakkan kaidah-kaidah akhlak dan iman untuk menjaga kemurnian dan keutuhan ukhuwah Islam. Islam mengajarkan umatnya untuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, serta meninggalkan kerjasama dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang mereka dan kelembutan mereka seperti tubuh yang satu. Apabila bagian tubuh yang satu mengeluh kesakitan, maka seluruh tubuhnya merasakan demam dan tidak bisa tidur.”

Islam memerintahkan orang beriman untuk mendamaikan dua orang saudaranya yang sedang sengketa. “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat: 10)

Islam juga menetapkan beberapa kewajiban seorang muslim atas muslim lainnya. Rasulullah saw. bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Janganlah seorang muslim menzhalimi saudaranya dan janganlah seorang muslim membiarkan, tidak menolong saudaranya. Barangsiapa yang membantu menuntaskan keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya. Barang siapa yang melapangkan kesempitan saudaranya, maka Allah akan melapangkan satu kesulitannya nanti hari kiamat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di hari kiamat.”

Rasulullah juga bersabda, “Hak seorang muslim kepada muslim lainnya ada lima: menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang bersin.”

Untuk tujuan ukhuwah Islam, Islam melarang segala yang dapat merusak ukhuwah. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian saling hasad dan jangan pula saling mencari-cari kesalahan serta janganlah kalian saling membenci dan saling menjauhi. Janganlah seorang muslim membeli barang yang telah ditawar saudaranya. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk hanya lantaran ia mengejek saudaranya sesama muslim. Seorang muslim atas muslim lainnya itu terpelihara nyawanya, hartanya, dan kehormatannya.”

Jika terlihat di antara dua orang muslim saling berbuat zhalim, maka umat Islam dituntut untuk mengembalikan haknya dan mencegahnya sesuai dengan syariat Islam yang mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar. “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran: 104)

Menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar merupakan rahasia keutamaan umat ini. “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik..” (Ali ‘Imran: 110)

Ukhuwah Syarat Mendapat Kekuasaan

Sesungguhnya merealisasikan ukhuwah merupakan syarat tercapainya kemenangan Islam. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaaff: 4)

Jika ukhuwah sudah tidak ada dan iman sudah lemah, maka akan datang kekalahan. “Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan seizin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman.” (Ali ‘Imran: 152)

Belajar Dari Sejarah

Ketika dahulu umat Islam adalah umat yang satu, Islam memimpin dunia dengan keadilan selama sekian abad. Jika kita teliti masa-masa kemenangan Islam, maka akan kita temukan bahwa semuanya itu tergantung kepada terealisirnya kesatuan umat. Kemenangan dalam peperangan di masa Rasulullah saw, maupun masa-masa penaklukan pasukan Islam ke hampir penjuru dunia, adalah buah dari kuatnya persatuan umat. Namun ketika ukhuwah melemah, kita dapat lihat reaksi pasukan Islam menghadapi serangan musuh-musuh Islam. Misalnya ketika Palestina dan Mesjid Al-Aqsha jatuh ke tangan pasukan Salib atau saat Baghdad dikuasai pasukan Tartar. Ketika kesatuan dan persatuan Islam lemah, lemah pula kekuatan umat Islam di hadapan musuh-musuhnya.

Musuh-musuh Islam telah cermat mengamati sumber kekuatan umat Islam Karena itu fokus sasaran serangan mereka kepada umat Islam adalah melemahkan ikatan ukhuwah pada diri umat Islam dengan berbagai sarana yang mereka miliki. Dan kesatuan politik umat Islam telah tercerabut bersamaan dengan jatuhnya Kekhalifahan Utsmani di Turki. Sejak itu negara-negara Barat menjajah dan menjarah negeri-negeri Islam.

Jadi, persatuan Islam bukanlah teori. Ini adalah dasar wawasan pemahaman Islam. Pandangan kita tentang Islam tidaklah benar jika tidak memahami konsep ukhuwah dalam Islam. Jika kita ingin kondisi umat Islam berubah menjadi baik, merealisasikan ukhuwah adalah tuntutan yang tidak bisa tidak mesti diaplikasikan oleh seluruh elemen umat Islam.

Tidak ada senjata yang ampuh untuk menghadapi kepungan kekuatan musuh, kecuali kesolidan umat Islam. Persatuan umat adalah sebuah jawaban.

Fiqih Dakwah: Dua Perkara: Niat Dan Persatuan

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com - Ada dua perkara yang harus selalu ditegakkan para dai dalam berdakwah: meluruskan niat dan merapatkan barisan.

Niat adalah hal yang sangat mendasar dalam ajaran Islam. Seluruh amal perbuatan kita tanpa niat tidak akan diterima Allah swt. Bahkan, niatlah yang menjadi pembeda mana amal yang bersifat ibadah dan mana yang bukan. Mandi pagi bisa bernilai ibadah, bisa juga hanya rutinitas sehari-hari, itu tergantung apa yang kita niatkan saat melakukannya.

Karena itu, meluruskan niat merupakan perkara yang mendasar. Apakah niat kita dalam berdakwah? Sudahkan Lillahi Ta’ala. Ikhlas hanya mengharapkan mardhatillah, keridhaan Allah. Bukan karena mengincar jabatan, kekayaan, popularitas, atau mengejar wanita yang ingin diperistri, seperti yang diilustrasikan Rasulullah saw. dalam hadits tentang niat.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا
أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan. (Bukhari)

Jika niat kita ikhlas Lillahi Ta’ala, maka itulah perjanjian kita di hadapan Allah swt. Lantas, sudahkan kita teguh dengan al-ahd (perjanjian) itu? Allah swt. mengabarkan kepada kita tentang para dai sebelum kita. Mereka memiliki keteguhan dalam memegang janjinya. “Diantara orang-orang mukmin itu ada golongan yang membenarkan janjinya kepada Allah, sebagian diantaranya telah menunaikan janjinya (dengan menemui kesyahidan) dan sebagian lagi masih menanti, tanpa mengubah janji itu sedikitpun”. (Al Ahzab: 23)

Karena itu, tak salah jika kita selalu mengulang-ulang ikrar keikhlasan janji kita di setiap kali menunaikan shalat, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah Pencipta alam semesta.” (Al-An’am: 162). Secara sadar kita meluruskan niat kita dalam sehari setidaknya lima kali.

Benarkah seluruh kehidupan kita akankah kita korbankan untuk kehidupan tak ada batasnya di akhirat nanti? Atau, hanya untuk mengejar kedudukan di dunia? Orang yang cerdas pasti tidak mau. Sebab, kita tahu nilai dunia itu tidak seberapa. Kata Nabi saw.,

لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia ini ditimbang, maka nilainya di sisi Allah sama seperti salah satu sayap nyamuk. Allah tidak akan memberikan di dunia ini, walaupun seteguk air saja, untuk orang-orang yang ingkar.” (H.R. Tirmidzi, no. 2242, shahih gharib)

Selain itu, dari ayat 23 surat Al-Ahzab, kita juga mengambil pelajaran bahwa al-istimroriyah, kontinuitas di jalan dakwah, adalah termasuk dalam salah satu perjanjian kita di hadapan Allah. Dan memang begitulah yang dicontohkan oleh para dai generasi awal Islam yang dibimbing oleh Rasulullah saw. Mereka tidak kenal lelah dan putus asa. Sahabat-sahabat Nabi saw. menjalani setiap fase dakwah berikut cobaan demi cobaan berat yang harus mereka lalui.

Kepada mereka, Rasulullah saw. menceritakan pengalaman dai generasi sebelumnya. Mereka ada yang digergaji, tetapi mereka tetap sabar. Itu bukan untuk menganggap kecil cobaan yang dihadapi oleh para sahabat. Fitnah yang mereka terima bukan hanya berupa intimidasi kata-kata, tetapi sudah berlumuran darah.

Apa yang membuat para sahabat bisa demikian teguh di medan dakwah? Husnu tsiqah dan bersandar terus kepada Allah Ta’ala lah yang memberikan ketenangan kepada mereka semua untuk terus langkah. Dengan begitu mereka bisa tenang dan tegar, meski zaman ini cepat sekali berubah tanpa terasa. Seorang tabi’in (generasi setelah sahabat Nabi) berkata, “Ayahku bercerita kepadaku: ‘Aku melihat Romawi menjatuhkan Persia, kemudian aku melihat pula Persia menjatuhkan Romawi. Dan, akhirnya aku melihat Islam meruntuhkan kedua-duanya hanya dalam waktu 15 tahun saja”. Tumbangnya Persia dan Romawi oleh kekuatan Islam hanya memakan waktu tak lebih dari 15 tahun. Begitulah capaian dakwah yang diasung oleh dai-dai yang ikhlas, teguh dalam memegang perjanjiannya dengan Allah, dan beramal secara kontinu tiada henti. Itulah buah dari kekuatan iman.

Namun bila hasil dakwah yang ditargetkan tidak seperti yang diharapkan, seorang dai masih bisa berharap mudah-mudahan kecapaian dan kelelahannya dalam berdakwah semuanya dihitung di sisi Allah Ta’ala, sekurang-kurangnya sebagai kaffaratun li adz dzunub (menghapus dosa). Begitulah yang disabdakan Rasulullah saw. dalam hadits nomor 5210 yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kekhawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya.”

Bukankah penghapusan dosa itu sudah lebih bagus daripada sekadar mendapat jabatan dunia. Khairun min ad-dunya wa maa fiiha (lebih baik dari dunia dan seisinya). Setiap hari berapa dosa yang kita pikul? Jika Allah mengampuninya, itu lebih baik dari segala-galanya.

*****

Perkara yang kedua yang harus selalu dilakukan oleh para dai adalah merapatkan barisan. Hal ini harus menjadi visi para dai bahwa mereka punya peran sebagai perekat umat. Karena itu, setiap dai harus punya spirit “kita bergabung dan bertemu menjadi kokoh dalam satu barisan tanpa merasa diri paling benar (‘ala ghairil ashwab), itu jauh lebih baik daripada kita terpisah-pisah dalam posisi merasa diri paling benar (ashwab)”. Begitulah perintah Allah swt. kepada kita.

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Ali Imran: 103)

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaf: 4)

Suatu ketika beberapa orang sahabat datang kepada Rasulullah Saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah. “Kami semua makan, ya Rasulullah, tapi tidak pernah merasa kenyang,” kata sahabat. Coba perhatikan, bagaimana Rasulullah mengajarkan kepada kita suatu adab dan akhlak yang baik. Apa jawab Rasulullah atas pertanyaan sahabat tadi?

“Boleh jadi kamu makan sendiri-sendiri?” Beliau bertanya lebih lanjut. Maka, sahabat kemudian menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah bersabda: “Kullu (kalian diharuskan untuk makan) mujtami’in (bersama-sama) fa inna al barakah ma’al jama’ah (karena keberkahan selalu beserta mereka yang berjamaah).” Istilah al-jamaah yang dimaksudn adalah jama’atul muslimin. Untuk makan saja Rasulullah saw. menyuruh kita untuk berjama’ah, apalagi untuk berdakwah. Karena itu, para dai harus berperan sebagai penggalang persatuan umat. Apapun kekurangan yang terdapat dalam tubuh umat, itulah kondisi faktual yang harus kita perbaiki dalam kebersamaan. Para dai harus mengajak semua komponen umat untuk bersatu memperbaiki segenap kekurangan yang ada di tubuh umat ini.

Memang sulit menyatukan umat dalam satu barisan yang kokoh. Tapi, apa pun yang bisa kita capai dan itu belum termasuk kategori menggembirakan hasilnya, itu bukan sebuah kegagalan. Kita semua menyadari dalam kamus seorang dai tidak ada ada entri kata “kekalahan”. Para dai selalu “menang”, bila tidak di dunia, maka kemenangan di akhirat. Orang boleh menilai agenda penyatuan umat yang kita dakwahkan tidak membuahkan hasil yang signifikan, tetapi kita melihat kenyataan itu sebagai perkara yang paling baik buat kita semua saat ini.

Bisa jadi itu juga cara Allah swt. menguji keteguhan kita dalam berdakwah. Tujuannya adalah untuk memberi motivasi dan dorongan kita agar semakin gigih dalam berdakwah. Sa’id Hawwa dalam bukunya “Al Madkhal” bercerita tentang berbagai ujian. Ia mengatakan, ”Man lam yakun lahu bidayah muhriqah laisa lahu nihayah musyriqah.” Barangsiapa tidak memulai dengan muhriqah (sesuatu yang membuat terbakar, penuh semangat dan kesusahan), maka tidak akan mendapat akhir yang musyriqah (cemerlang).”

Semoga kita bisa menegakkan dua perkara ini dalam keseharian aktivitas dakwah kita. Amin.

Belajarlah Dari Matahari

Rating:★★★★★
Category:Other
Puisi
Oleh: DR. Amir Faishol Fath

from: dakwatuna.com

Anakku, lihatlah matahari itu
Ia tidak pernah berhenti memberikan cahaya
Sekalipun orang-orang tidak mau memujinya
Tidak pernah memberikan penghargaan kepadanya
Ia tetap memberikan pencahayaan
Bayangkan, apa yang akan dialami bumi
Bila matahari tidak mau bercahaya

Anakku, janganlah kau putus asa
Karena besok pagi matahari itu akan terbit kembali
Songsonglah masa depan dengan semangat membara
Tanpa kenal lelah dan pudar
Karena dengannya kau akan menjadi mulia

Anakku, kau lihat matahari itu sangat tinggi
Tetapi ia masih mau membantu bumi
Karenanya, bila engkau kelak sedang di atas
Janganlah lupa kepada yang di bawah
Sebab kau akan semakin tinggi ketika kau selalu merendah

Anakku, matahari itu tidak lupa diri
Sekalipun ia sibuk memberikan cahaya kepada semesta
Ia juga memberikan cahaya pada dirinya
Karenanya janganlah kau menjadi seperti lilin
Yang rela membakar dirinya untuk pencahayaan
Tetapi jadilah seperti matahari
Yang memberikan cahaya bagi orang lain
Juga memberikan cahaya bagi dirinya sendiri.

Washington DC, 2010



Kamis, 07 Oktober 2010

Dalam tiap benturan antara kita dan sesama, selalu ada pilihan; untuk memenangkan kebenaran atau memenangkan hati lawan bicara kita. Jiwa tak bisa takluk oleh hujjah. Hawa nafsu sulit tunduk pada argumentasi. Tetapi begitu hati tersentuh oleh pesona akhlak, tanpa ditunjuki pun dia akan mencari hujjahnya sendiri untuk menginsyafi kebenaran. (DDU-SAF)

.......

Helai demi helai benang rindu ku rajut namun tak jua terbentuk selembar kain, entah dimana ujungnya,
entah kapan berujung jumpa...,
mungkin tak tertakdir di dunia tapi kelak di surga-NYA

Tapak kaki tinggalkan jejak di aspal basah, adakah hadirku tinggalkan bekas dalam sebuah kisah?
Jalan panjang yang pernah aku kamu dan kita tapaki,
tersisa rintik hujan dan deru mobil ramaikan malam ku yang sendiri kini,

malam cepatlah usai,
kurindu fajar pagi dan hangatnya mentari,
biarkan ku mencari,
penuh harap kan bertepi pada diri yang tak lagi sendiri...

siang ku berlari mengejar yang tak terperi,
kuharap malam selimuti lelap ini,
kupinta bulan menyapa dan bintang temani,,
malam datanglah agar ia hadir dalam mimpi obati rindu ini..

Harun Al Rasyid pernah berkata, “Saya tidak bangga dengan keberhasilan yang tidak saya rencanakan, sebagaimana saya tidak akan menyesal atas kegagalan yang terjadi di ujung segala usaha maksimal.” Yang paling sempurna tentu saja keberhasilan yang diberikan Allah setelah usaha dan kerja-kerja maksimal.