Translate

Jumat, 17 Desember 2010

Mentoring Keren | Makin Keren dengan mentoring! Gak percaya? Coba aja! ;)


http://mentoringkeren.wordpress.com/
Ini nih gaweannya tim MK Forkom Alims..., good job gan!!

Mentoring yang dimaksud di sini adalah mentoring agama Islam, sebuah kegiatan yang rutin diadakan per minggu di SMAN 1 Bogor. Mentoring dilaksanakan di tiap-tiap kelas, dipisah antara siswa laki-laki dan perempuan. Harapannya, dengan adanya mentoring, siswa SMAN 1 Bogor bisa bertambah pemahaman Islamnya, bertambah baik akhlaknya, dan jadi pemuda/pemudi yang mencerminkan kerennya Islam. Singkatnya, jadi MAKIN KEREN dengan mentoring ;)

Kegiatan mentoring kelas ini diisi dengan tilawah, materi dari aa/teteh mentor, dan sharing antar sesama peserta mentoring. Jadi kalau ada yang lagi punya masalah, bisa dibagi di mentoring, sehingga bisa meringankan beban dan insya Allah dapet solusi. Kegiatan mentoring banyak variasinya kok! Kadang ada games, ada masak-masak, main futsal, jalan-jalan, dan suka ada makanannya loh! Hehehe. Intinya insya Allah semuanya bermanfaat! :)

Nah, blog ini insya Allah akan diisi dengan cerita seputar mentoring di SMAN 1 Bogor, dan juga Mentoring Online 4 U (MOU). Wah, apaan lagi tuh MOU? Jadi, MOU itu adalah konten mentoring online yang biasanya dipublish kalau SMAN 1 Bogor lagi libur. Bentuknya cerpen, kadang komik dan gambar-gambar. Ada tokoh-tokohnya juga loh! Silakan dilihat di postingan berikutnya.

Selasa, 14 Desember 2010

Kemana Muslimah Melangkah?

Rating:★★★★
Category:Other
Bismillah....
Assalamu'alaikum...

Masih ingat postingan saya yang judulnya : MUSLIMAH! JANGAN PERNAH BERHENTI MELANGKAH, BERGERAKLAH! TERUSLAH MEMBADAI BANGUN PERADABAN [http://bungaoktora.multiply.com/reviews/item/62] ???

Di postingan itu saya menyebutkan kalau dalam artikel yang saya dapatkan dari dakwatuna.com saya mendapatkan jawaban atas sejauh mana peran seorang muslimah dalam membangun peradaban, sejauh apa muslimah bisa bergerak membadai... Nah, berikut saya posting kembali lanjutan artikelnya.

Semoga bermanfaat untuk kita semua dan dapat menguatkan langkah-langkah kita, menghilangkan segala kegamangan, dan menjadikan kita muslimah yang semakin produktif, pro aktif, dan berperan aktif dalam dakwah dan peradaban...

Kemana Muslimah Melangkah? (Bagian Kedua)
Mar'ah Muslimah
22/1/2007 | 03 Muharram 1428 H | Hits: 7.365
Oleh: Sitaresmi S Soekanto

dakwatuna.com – Masalahnya adalah untuk saat ini dan saat mendatang apa yang bisa dilakukan muslimah? Bagaimana caranya untuk berjuang mewujudkan gagasan mulia menegakkan syariat Allah di muka bumi. Yang jelas tak mungkin berjuang seorang diri tanpa program yang matang, jelas dan terarah serta tanpa adanya amal jama’i yang terorganisir.

Bukankah Allah berfirman dalam QS. 61:4 bahwa Ia menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi seolah-olah menyerupai bangunan yang kokoh. Ali r.a. pun pernah berucap: “Kebenaran yang tidak tertata, terorganisir secara rapi akan mampu dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir dengan baik.”

Shalan Qazan mengutarakan bahwa gagasan yang mulia tidak bisa secara serta merta diwujudkan begitu saja, karena sehebat apa pun sebuah gagasan jika tidak diwujudkan dalam sebuah pergerakan dan diperjuangkan oleh para pendukungnya pasti akan segera lenyap dan dilupakan orang.

Keberhasilan sebuah gagasan sangat ditentukan oleh sejauh mana aktivitas, ketangguhan dan kemampuan para pendukungnya dalam merekrut massa serta kemudian membentuk sebuah pergerakan yang terdiri dari sekelompok manusia yang dikendalikan oleh suatu kepemimpinan beserta struktur organisasinya.

Oleh karena itu terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara gagasan Jamaluddin al Afghani, Muhammad Abduh, Abdurrahman Al-Kawakibi dengan gagasan Hassan Al-Banna dan Sa’id Nursi. Mereka semua sama-sama reformer yang memiliki gagasan pembaharuan, tetapi gagasan al Afghani, M. Abduh dan al Kawakibi hanya menjadi gagasan yang tak terdokumentasikan dalam sejarah. Sementara gagasan Hasan Al-Banna terus bertahan karena melembaga dalam jamaah Ikhwanul Muslimin dan Sa’id Nursi dengan jama’ah An-Nur.

Sayyid Quthub dalam bukunya Hadzad Dien juga meyakini bahwa konsep hanya dapat direalisasikan bila didukung oleh sekelompok manusia yang mempercayainya secara utuh, konsisten dengannya sebatas kemampuannya dan bersungguh-sungguh mewujudkannya dalam hati dan kehidupan orang lain.

Hal ini yang dilalaikan wanita pada masa lalu walau pun penyebab utama kemunduran wanita adalah penyimpangan persepsi tentang wanita itu sendiri. Wanita dibelenggu, dilecehkan dan dizhalimi tetapi tak ada yang dapat menyelamatkannya baik laki-laki maupun dirinya sendiri. Sampai akhirnya Islam membebaskan perempuan tanpa peran perempuan itu sendiri. Pembebasan itu terjadi karena Islam mendirikan bangunan pergerakan yang kuat lagi solid di atas landasan ideologis yang sangat kuat dan wanita ikut masuk ke dalam pergerakan itu sebagai mitra laki-laki.

Bila pengaruh Quran dalam diri individu-individu atau skala negara melemah, maka yang terjadi akan bertambahlah belenggu yang melilit wanita. Hanya orang bodoh atau berpura-pura bodoh yang menganggap Islamlah yang membelenggu wanita sehingga muslimah harus memberikan kontribusi berarti dalam upaya memulai kembali kehidupan yang islami karena hanya dalam kondisi tersebut ia akan merasakan kemerdekaan yang hakiki.

Dan agar pengaruhnya terasa lebih kuat dan hasilnya pun lebih cepat, efisien, tahan lama dan kokoh, hal itu hanya bisa direalisir melalui amal islami haraki jama’i.

Banyak dalil dalam Al-Qur’an seperti 3:104, 61:4, 16:96, 9:71 serta hadits Nabi SAW. “Innama nisa’u syaqaaiqu ar rijal” (sesungguhnya wanita saudara kandung laki-laki), yang menunjukkan bahwa wanita pun memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam perjuangan menegakkan syari’at Allah dan membangun masyarakat Qur’ani.

Islam adalah agama yang merupakan rahmatan lil ‘alamin termasuk untuk wanita. Dan ketika Islam menginginkan kemerdekaan mentalitas perempuan tidak lain karena hendak membangun mentalitas pendobrak atau anashirut taghyir yang mampu membedakan antara yang hak dan yang bathil, menentang kebatilan dan berinteraksi dengan kebenaran berdasarkan tolok ukur nilai-nilai Rabbani.

Islam ingin memuliakan wanita menjadi wanita aktif yang berinteraksi dengan realitas baru, berpartisipasi memeliharanya dan ikut ambil bagian dalam pengembangan Islam menuju universalitasnya.

Ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah kewanitaan ditujukan untuk mencetak wanita haraki (aktivis) yang aktif dalam pembinaan diri, keluarga, pekerjaan dan masyarakatnya. Bila ia berhasil menjadi wanita yang aktif lagi positif, wanita baru akan merasa nilai dan kedudukannya yang hakiki sebagai wanita.

Sosok itulah yang insya Allah ada dalam diri muslimah. Mereka memiliki kekhasan-kekhasan yang menjadikannya istimewa, yakni:

1. Kepribadian yang khas lagi kuat.
2. Keberanian dan kepercayaan diri
3. Berpikir rasional dan sistematis, memiliki kemampuan intelektual dalam mengkritik, mengevaluasi, membangun, menantang dan memilih.
4. Kemandirian.

Gerakan Islam Akan Menghasilkan Muslimah yang Tidak Gamang Dalam Melangkah

Islam memang piawai dalam mencetak mentalitas muslimah, namun hal tersebut akan nampak semakin nyata bila mereka melibatkan diri secara aktif dalam sebuah pergerakan/harakah. Ada beberapa manfaat nyata dari keterlibatannya tersebut, antara lain:

1. Menyadarkan muslimah dan wanita pada umumnya akan nilai dan kedudukannya di tengah masyarakat. Ia akan berpartisipasi aktif dalam menyelesaikan problematika umum di masyarakat.

2. Memperoleh wawasan yang ideal, memadai dan selektif.

3. Menghilangkan keengganan, kegamangan, kepasifan dan ketergantungan pada orang lain.

4. Membersihkan kabut dan karat dalam pemikiran muslimah karena adanya stagnasi pemikiran dan sifat-sifat buruk seperti individualis, egois, apatis.

5. Menghindarkannya dari kejenuhan karena ia disibukkan dengan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat untuk dakwah Islam. Ia juga akan terhindar dari kegiatan sia-sia seperti bergunjing, bersenda gurau dan menyebarkan desas-desus.

6. Membantunya meningkatkan ketinggian spiritual.

7. Mendidik muslimah untuk gemar bekerja sama dalam hal-hal yang bermanfaat.

8. Menjauhkan perhatiannya dari hal-hal yang kurang berarti seperti mode dan dandanan make up untuk menggoda laki-laki dengan mengandalkan penampilan fisik.

9. Menumbuhkan keberanian dalam diri muslimah untuk memerangi adat dan tradisi usang yang bertentangan dengan nilai-nilai islami.

10. Berta’aruf, berinteraksi dan saling membina, mendidik dengan saudara-saudara seiman dan sefikrah.

11. Berani melawan kemungkaran dan mampu menanggung beban, kesulitan dan derita dengan sabar.

12. Menjadikan urusan-urusan hidupnya terprogram, teratur dan tertata dengan baik.

13. Menyebabkan terasah dan tergalinya kemampuan intelektual, kreativitas berpikir dan keterampilan tangannya dengan kreasi dan potensi yang tidak hanya berguna untuk dirinya saja.

14. Mempertajam sikap kemandirian muslimah tetapi tetap dalam koridor syar’i.


Pengaruh Gerakan Islam bagi Proses Perubahan di Masyarakat

Paling tidak ada tiga pilar utama perubahan di tengah masyarakat yakni:

1. Gagasan yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia.
2. Aktivis-aktivis yang tidak kenal lelah dalam mendukung dan menyebarluaskan gagasan tersebut.
3. Kepemimpinan yang baik, kokoh, memiliki kapabilitas memadai dan dapat diteladani.

Munculnya sebuah pergerakan dalam proses perubahan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik akan memunculkan pengaruh-pengaruh positif yang nyata. Di antaranya ialah masyarakat jadi terdorong untuk segera berada dalam proses perubahan. Kemudian banyak individu yang tergerak untuk ikut serta dalam gerakan perubahan sehingga dapat menjadi alat untuk membedakan mana anggota masyarakat yang baik, hanif dan siap diajak berubah serta mana yang tidak.

Selain itu pergerakan juga akan mampu menyingkirkan musuh-musuh perubahan dan pembaharuan di masyarakat serta sebagai gantinya menumbuhsuburkan semangat pergerakan dan pembaharuan di dalam masyarakat.

Selanjutnya harakah atau pergerakan akan memungkinkan terbukanya pintu ijtihad, menumbuhkan kesadaran umum dan menggoyahkan sendi-sendi diktatorisme, sekularisme dan atheisme.

Akhirnya sebuah harakah akan sangat membantu proses lahirnya individu-individu muslim, rumah tangga muslim dan masyarakat muslim serta membuat rencana jitu untuk mengobati penyakit-penyakit yang ada di tengah masyarakat.

Info terbaru: rel kereta antara stasiun bogor dan cilebut ada yang PATAH sehingga lalu lintas kereta terhambat... baguuusssss... setelah banyak kereta yang tidak beroperasi sehingga terjadi penumpukkan penumpang dalam kereta layaknya ikan pepes (sungguh tidak manusiawi); sekarang ditambah lagi dengan kerusakan rel-nya, hei!!! gimana nasibku dan para pengguna kereta lainnya???

Rabu, 01 Desember 2010

Keikutsertaan Muslimah Dalam Aktivitas Politik Pada Era Nabi Muhammad SAW

Rating:★★★★★
Category:Other
Oleh: Aba AbduLLAAH

MUSYAARAKAH AN-NISAA’ FIS-SIYAASAH FII ‘AHDIN NABIY SHALLAALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM

Sebagian orang telah bersikap permisif/berlebih-lebihan (ifraath) dalam mensikapi keikutsertaan wanita dalam masalah-masalah politik, sehingga mereka membiarkan para wanita campur-baur (ikhthilaath) dengan para laki-laki di tempat-tempat umum tanpa ada batas serta membuka aurat (tabarruj) sehingga keluar dari aturan-aturan (dhawabith) syar’iyyah. Inilah sikap orang-orang yang sekular pada masa ini, sikap seperti ini adalah salah satu bentuk perilaku wanita jahiliyyah sebagaimana kaum musyrikin sebelum Islam, yang disebut oleh DR Muhammad Quthb sebagai Al-Jahiliyyah fil Qarnil ‘Isyrin (jahiliyyah abad-20).

Sementara sebagian kelompok lainnya bersikap overprotektif/berkurang-kurang-an (tafriith) dalam mensikapi para wanita muslimah, sehingga seolah-olah dunia ini hanyalah milik para laki-laki (Rijal), sementara para wanita harus berdiam di rumah, tidak boleh beraktifitas ke luar rumah dan hanya boleh bertemu laki-laki asing (ajnabi) 3 kali saja seumur hidupnya, yaitu saat ia dilahirkan (waktu diadakan ‘aqiqah-nya), saat ia akan menikah (ta’aruf) dan saat ia dibawa ke kuburnya, maka ini adalah sikap kelompok ghulllat (ekstremis), yang menurut DR Yusuf Al-Qaradhawi disebut sebagai zhahiriyyah-jadiidah (neo-tekstualis).

Islam jauh dari kedua sikap ekstrem tersebut, Islam mensikapi wanita secara adil dan moderat (wasathiyyah) yang jauh dari ifraath maupun tafriith. Demikianlah pemahaman As-Salafus Shalih, dan demikian pula pemahaman AL-IKHWAN kepada peran dan posisi wanita dalam Islam. pada tulisan ini ana berusaha menjawab pertanyaan seorang ukhti al-muslimah tentang keikutsertaan wanita dalam berbagai aktifitas politik, seperti dalam muzhaharah (demonstrasi), dll. Apakah yang demikian itu dibenarkan oleh syariah? Ana akan coba jawab secara ringkas insya ALLAH ta’ala, ALLAHul musta’an..

1. KEIKUTSERTAAN WANITA MUSLIMAH DALAM AKTIFITAS POLITIK SAMPAI KE LUAR-NEGERI

“Sesungguhnya orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menzhalimi dirinya sendiri, Malaikat bertanya : Kenapa kalian ini? Mereka menjawab : Kami adalah orang-orang tertindas di negeri ini. Maka kata Malaikat : Bukankah bumi ALLAH itu luas sehingga kalian dapat berhijrah? orang-orang seperti itu tempatnya adalah di neraka Jahannam dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali orang-orang yang tertindas baik laki-laki atau wanita atau anak-anak yang tidak mampu dan tidak mengetahui jalan untuk berhijrah. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk berhijrah kepada ALLAH dan Rasul-NYA, lalu ditimpa kematian maka sungguh pahalanya telah tetap disisi ALLAH. Dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’, 4/97-100)

Az-Zain Al-Munayyir berkata : “Ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa yang lemah dan tertindas itu hanya berlaku bagi kaum wanita saja, melainkan ayat tersebut menunjukkan adanya persamaan antara lelaki dan wanita.”[1]

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Wanita-wanita yang ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia) adalah Ruqayyah (putri Nabi SAW), Sahlah binti Sahl (istri Abu Hudzaifah), Ummu Salamah binti Abu Umayyah (istri Abu Salamah), Lailat binti Abu Hitsmah (istri Amir bin Rabi’ah) [2]. Adapun wanita yang hijrah pada hijrah kedua mencapai 12 orang, diantaranya Ummu Habibah (putri Abu Sufyan), Asma’ binti Umais, Haminah binti Khalaf al-Khuza’iyyah.” [3]

Dari Marwan dan Al-Miswar bin Makhramah ra, keduanya bercerita tentang para sahabat RasuluLLAH SAW, ketika Suhail bin Amru menulis perjanjian pada hari itu (Hudhaibiyyah), “…tidak ada satupun dari kaum laki-laki yang datang pada Nabi SAW kecuali beliau SAW kembalikan mereka (pada kaum Qurasiy) pada saat itu juga, meskipun ia seorang muslim. Suatu hari datanglah beberapa orang wanita mu’minat sebagai muhajirat, diantaranya Ummu Kultsum binti Abi Mu’aith diantara mereka. Maka datanglah keluarganya meminta agar mereka dikembalikan, tetapi Nabi SAW tidak mengembalikannya kepada mereka.” [4]

Aisyah ra bertanya (kepada seorang budak wanita yang selalu berkata: “Ketahuilah bahwa ALLAH telah menyelamatkanku dari negeri kufur”), kata Aisyah ra: “Kenapa tiap kali kamu duduk disampingku selalu berkata demikian?” Kemudian wanita itu menceritakan kisahnya[5]. Al-Hafizh berkata: “Di dalam hadits itu ada dalil yang menyuruh seseorang keluar dari satu negeri jika ia menghadapi cobaan di negeri tersebut ke negeri yang lebih baik baginya, juga terdapat dalil mengenai hijrah dari negeri kufur.” [6]

Secara lengkap disebutkan dalam berbagai kitab sejarah [7] As-Salafus Shalih pembahasan tentang hijrahnya sejumlah akhwat ke Madinah, diantaranya Ummu al-Fadhl (istri Al-Abbas), Ummu Salamah binti Abu Umayyah, Laila binti Abu Hitsmah, Umaimah binti Abdul Muthalib, Zainab binti Jahsy, Ummu Habibah binti Jahsy, Judamah binti Jandal, Ummu Qays bintoi Muhshin, Ummu Habibah binti Nabatah, Umamah binti Raqisy, Hafshah binti Umar, Fathimah binti Qays, Subai’ah al-Aslamiyyah, dan Ummu Ruman. Tepat sekali perkataan Imam az-Zuhri yang menyatakan: “Kami belum pernah mengetahui tentang adanya salah seorang wanita yang murtad dari agamanya setelah mereka berhijrah.” [8]

2. KEIKUTSERTAAN WANITA MUSLIMAH DALAM JANJI SETIA PADA PEMIMPIN NEGARA YANG ISLAMI

“Hai Nabi, jika datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk berjanji setia bahwa mereka tidak akan syirik pada ALLAH, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak mereka, tidak akan berdusta yang mereka adakan diantara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan bagi mereka dari ALLAH, sesungguhnya ALLAH MAHA Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah, 60/12)

Janji setia seorang warga masyarakat pada pemimpinnya adalah urusan politik (as-siyasah), jika seadainya Islam menempatkan kaum wanita untuk hanya diam di rumah saja maka mengapakah mereka harus juga diminta untuk ber-janji setia pada pemimpin negaranya? Bukankah berarti saat itu ia harus keluar rumahnya dan nampak oleh orang lain yang bukan mahram-nya? Demikianlah Islam mendudukkan hak politik wanita dalam berbagai hal sama dengan hak politik laki-laki (ana katakan dalam berbagai hal, karena tidak berarti semuanya adalah sama, karena ulama salaf telah sepakat tidak membenarkan wanita menjadi kepala negara, karena demikianlah sebagaimana dalam hadits-hadits shahih).

Sehingga sikap kita dalam masalah ini adalah mengambil hukum sesuai dengan asasnya, lalu melakukan qiyas (analogi) yang benar sesuai illat-nya, tidak memperluasnya tetapi juga tidak menyempitkannya. Demikianlah mawaqif as-salafus-shalih, semoga ALLAH SWT meridhoi mereka semua. Jika dikatakan bahwa janji setia dalam ayat ini khusus bagi wanita dan berbeda dengan janji setia kaum laki-laki, maka hal tersebut tertolak dengan hadits shahih [9] yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:

“Suatu hari Nabi SAW berkata dimana disekelilingnya ada sejumlah sahabat ra: “Marilah kalian semua berjanji setia kepadaku, yaitu bahwa kalian tidak akan syirik kepada ALLAH dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak kalian, tidak akan berdusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, dan tidak akan mendurhakaiku dalam hal kebaikan..” Lalu Ubadah ra berkata : “Aku berjanji setia pada beliau SAW berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut.” Demikianlah janji setia para sahabat tersebut sama dengan janji setia para sahabat wanita (shahabiyyah) dalam ayat di atas. ALLAHu ‘alam.

Jika dikatakan bahwa janji setia dalam ayat di atas adalah janji setia dalam urusan agama saja dan bukan masalah pemerintahan (politik), maka pernyataan tersebut tertolak, karena dalam ayat di tersebut bukan hanya memuat masalah agama (dalam arti sempit saja), melainkan juga masalah politik (agama dalam arti luas), berdasarkan salah satu isi dari janji setia dalam ayat tersebut di atas yaitu: “…DAN MEREKA tidak AKAN MENDURHAKAIMU dalam URUSAN KEBAIKAN…” (QS Al-Mumtahanah, 60/12), dan tafsirnya sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih [10] yaitu sabda Nabi SAW : “Ketaatan itu hanya dalam urusan yang baik.” Dan ini adalah masalah kepemimpinan dalam negara dan politik. Ini juga diperkuat dengan berbagai peristiwa politik dalam sirah nabi SAW lainnya yang mengikutsertakan para wanita, di antaranya hadits keikutsertaan janji setia para wanita Anshar dalam peristiwa ‘Aqabah kedua, yaitu Ummu ‘Ammarah binti Ka’ab (wanita bani Mazin) dan Asma binti Amr bin Adi (salah seorang wanita Bani Salamah) – semoga ALLAH SWT meridhoi mereka berdua – [11]. ALLAHu a’lam.

Jika dikatakan : Benar, kami setuju bahwa para wanita tersebut berjanji setia dalam urusan politik bukan hanya urusan agama, tapi tetap kepergian mereka untuk berjanji setia tersebut semuanya adalah bersama para suaminya, jadi tidak merupakan hak mereka secara individu. Maka ana katakan bahwa pernyataan ini pun tertolak oleh atsar yang shahih, diantaranya berdasarkan riwayat dari Imam At-Thabari dari Ibnu Abbas ra[12] : “Demi ALLAH, mereka pergi bukan karena benci pada suaminya, demi ALLAH mereka pergi bukan karena tidak suka pada negerinya lalu ingin pindah ke luar negeri, demi ALLAH mereka pergi bukan karena mengejar dunia, demi ALLAH mereka tidak pergi selain karena mencintai ALLAH dan Rasul-NYA.” Dalam atsar ini dijelaskan secara eksplisit bahwa sebagian mereka pergi dengan tanpa suaminya, sehingga janji setia tersebut adalah untuk diri mereka sendiri. ALLAHu a’lam

3. KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM JIHAD FII SABILILLAH

“Sesungguhnya laki-laki dan wanita yang muslim, laki-laki dan wanita yang mu’min, laki-laki dan wanita yang taat, laki-laki dan wanita yang benar, laki-laki dan wanita yang sabar, laki-laki dan wanita yang khusyu, laki-laki dan wanita yang bershadaqah, laki-laki dan wanita yang shaum, laki-laki dan wanita yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan wanita yang banyak mengingat ALLAH, maka ALLAH telah menyiapkan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab, 33/35)

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya [13] menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas ra [14] bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pertanyaan para wanita: “Mengapa dalam Al-Qur’an disebutkan para laki-laki sementara para wanita tidak?” Maka turunlah ayat ini. Imam Al-Qurthubi menambahkan dalam tafsirnya [15] bahwa makna al-qanuut diantaranya adalah ath-tha’aat fil makrah wal mansyath (ketaatan baik dalam malas maupun semangat).

Islam tidak membedakan kaum muslimah dengan kaum muslimin dalam jihad melawan kuffar, dalam hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat wanita terkemuka Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra berkata [16]: “Kami pernah bersama nabi SAW dalam peperangan, kami bertugas memberi minum para prajurit, melayani mereka, mengobati yang terluka, dan mengantarkan yang terluka kembali ke Madinah.” Jika dikatakan bahwa hadits tersebut hanya dalam peperangan yang dekat-dekat dengan Madinah saja dan tidak ke luar negeri, maka hal tersebut terbantah dengan hadits Ummu Haram ra, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra [17], dimana ia berkata:

“Nabi SAW bersabda : “Sejumlah orang dari ummatku menawarkan dirinya sebagai pasukan mujahid fi sabiliLLAH. Mereka mengarungi permukaan lautan bagaikan raja-raja di atas singgasananya.” Lalu tiba-tiba Ummu Haram ra berkata: “Ya RasuluLLAH, doakan saya termasuk diantara mereka itu.” Lalu Nabi SAW mendoakannya…”

Maka ketahuilah jika hal tersebut (berjihad) terlarang bagi para wanita, maka tidaklah Nabi SAW akan mendoakan Ummu Haram ra, yang jihadnya tersebut sampai jauh ke luar negeri. ALLAHu a’lam

Ketahuilah ikhwah wa akhwat fiLLAH sekalian, jika jihad perang (qital) saja dibolehkan bagi para wanita, apalagi yang lebih rendah bahayanya dari itu, seperti ikut serta mendengarkan pidato politik dari pemimpin di lapangan/tempat terbuka, sebagaimana hadits AbduLLAH bin Rafi’ dari Ummu Salamah ra [18] bahwa suatu ketika Ummu Salamah ra sedang disisir, lalu terdengar Nabi SAW berseru dari atas mimbar: “Ayyuhan Naas!” Maka Ummu Salamah ra berkata pada tukang sisirnya: “Rapikan segera rambutku [19]!” Pembantunya berkata: “Seruan itu hanya untuk kaum laki-laki dan bukan kaum wanita.” Maka jawab Ummu Salamah ra: “Aku juga adalah seorang manusia (an-naas)!”

Jika dikatakan bahwa hukum tersebut khusus untuk mendengar pidato politik dari qiyadah-’ulya (pemimpin negara) saja dan bukan pemimpin selainnya, maka hal tersebut dibantah oleh hadits Zainab ra dalam diskusinya dengan khalifah Abubakar ra yang diriwayatkan oleh Qays bin Abu Hazim ra [20] dimana ia ra bertanya: “Siapakah yang disebut para pemimpin itu?” Jawab Abubakar ra: “Bukankah kaummu memiliki para pembesar dan tokoh yang apabila mereka memerintahkan sesuatu lalu kaumnya mentaatinya?” Jawab Zainab: “Ya, benar.” Kata Abubakar ra: “Mereka itulah pemimpin bagi semua orang.”

Jika dikatakan bahwa mengapa AL-IKHWAN membiarkan para akhwat muslimah ikut memutuskan masalah-masalah politik dan tidak memberikan hak tersebut sepenuhnya pada laki-laki? Maka ana jawab bahwa hal tersebut pun sering dilakukan pada masa Nabi SAW dan Salafus Shalih, di antaranya yang paling terkenal adalah saran Ummu Salamah ra pada Nabi SAW dalam mengatasi masalah politik (yaitu ketidaktaatan para sahabat ra) di hari Hudhaibiyyah [21], lalu saran Ummu Sulaim ra pada Nabi SAW saat peperangan Hunain [22], dll. Jika dikatakan bahwa hal tersebut khusus bagi Nabi SAW saja, maka ana jawab tidak demikian, lihat juga hadits saran Hafshah ra pada saudaranya (Ibnu Umar ra) setelah peristiwa penusukan Umar ra di mesjid [23], juga sarannya saat perang antara Ali ra dan Mu’awiyyah ra [24], teguran Asma binti Abubakar ra pada Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi [25]. ALLAHu a’lam.

Demikianlah, sebagian hadits dan atsar salafus shalih dalam masalah ini (musyarakah siyasiyyah lin nisaa’ / keterlibatan wanita dalam masalah politik) baik di dalam ruangan (seminar, diskusi politik, memutuskan perkara-perkara politik ummat) maupun di luar ruangan (berdemonstrasi, dan sebagainya), bahkan para sahabat ra tidak mengingkari keterlibatan Ummul Mu’minin ra dalam peperangan Jamal, dan sebagian diantara mereka ikut dalam pasukannya [26]. Sepanjang semua itu dilakukan dengan menjaga etika syariat (adabusy-syar’iyyah), seperti tidak bersentuhan lelaki dengan wanita, tidak saling memandang dan menikmati, atau bercanda dengan yang bukan mahram-nya, dan seterusnya. Demikian ukhti al-muslimah, ALLAHu a’lamu bish Shawab…

REFERENSI:

[1] Fathul Bari’ Syarah Shahih Bukhari, III/425

[2] Fathul Bari’, VIII/186

[3] Ibid, hal 187-189. Lih. Juga Ad-Durar fi Ikhtishar Al-Maghazi was Siyar, Ibni Abdilbarr, hal. 21-25.

[4] HR Bukhari, Kitab Syarat, Bab Syarat dan Hukum yang Dibolehkan dalam Islam dan Pemjanji setiaan, VI/240.

[5] HR Bukhari, Kitab Shalat, Bab Tidurnya seorang wanita di mesjid, II/79.

[6] Fathul Bari’, II/81

[7] At-Thabaqat Al-Kubra’, Ibnu Sa’d, VIII/276 dan 313; juga Ad-Durar fi Ikhtishar al-Maghazi was Siyar, Ibni Abdilbarr, hal. 45-47.

[8] HR Bukhari, Kitab Syarat, Bab Syarat2 dalam Berjihad dan Berdamai, VI/281.

[9] HR Bukhari, Kitab Manaqib, Bab Delegasi Anshar kepada Nabi SAW dan Janji setia ‘Aqabah, VIII/222.

[10] HR Bukhari, kitab Hukum2, Bab Patuh dan Taat pada Imam Selama tidak Menyangkut Maksiat. XVI/241; HR Muslim, Kitab Kepemimpinan, Bab Kewajiban Mentaati Pemimpin pada Hal yang Bukan Maksiat dan Haram Mentaati Mereka dalam Soal Maksiat, VIII/220.

[11] Fathul Bari’, VIII/220.

[12] Fathul Bari’, XI/345

[13] Mukhtashar Libni Katsir, Ash-Shabuni, III/123

[14] Ibid, haditsnya di-takhrij oleh Imam Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas ra.

[15] Tafsir Ahkamil Qur’an, XIV/163

[16] HR Bukhari, Kitab Jihad, Bab Kaum Wanita Merawat Orang yang Terluka dalam Peperangan, VI/420.

[17] HR Bukhari, Kitab Jihad, Bab Mendoakan Supaya Bisa Berjihad dan Mati Syahid baik bagi Pria maupun Wanita, VI/350; HR Muslim, Kitab Kepemimpinan, Bab Keutamaan Berperang di Laut, VI/50.

[18] HR Muslim, Kitab Keutamaan, Bab Menetapkan Telaga Nabi SAW dan Sifat2nya, VII/67.

[19] dalam riwayat lain : Minggirlah segera dariku! (Ibid).

[20] HR Bukhari, Kitab Manaqib, Bab Hari2 Jahiliyyah, VIII/149.

[21] HR Bukhari, Kitab Syarat, Bab Syarat2 dalam Berjihad dan Berdamai dengan Musuh, VI/257, 269, 276.

[22] HR Muslim, Kitab Jihad, Bab Kaum Wanita Berperang Bersama Kaum Pria, V/196.

[23] HR Muslim, Kitab Kepemimpinan, Bab Menunjuk Khalifah dan Membiarkannya, VI/5.

[24] HR Bukhari, Kitab Peperangan, Bab Perang Khandaq/Ahzab, VIII/466.

[25] HR Muslim, Kitab Keutamaan2 Shahabat, Bab Kebohongan Bani Tsaqif dan Kecurangannya, VII/190.

[26] HR Bukhari, Kitab Cobaan, Bab Utsman bin Haitsam Menceritakan Kepada Kami, XVI/167.


Sumber:

http://www.al-ikhwan.net/keikutsertaan-wanita-muslimah-dalam-aktifitas-politik-pada-era-nabi-muhammad-saw-33/


Suara Dari Dalam Hati: Renungan tentang Ukhuwah, Tajarrud dan Tsiqah

Rating:★★★★
Category:Other
Oleh Prof. DR. Mohammed Badi’

Penerjemah: Abu ANaS

TSIQOH terhadap janji ALLAH dan dukungannya…
apakah sudah bergeser rukun ini?!
Marilah kita bangkit untuk memeliharanya dan memperbaiki apa yang telah terjadi..

Tsiqah terhadap perlindungan Allah pada jamaah yang penuh berkah ini yang mana kita hidup di dalamnya dengan penuh keberkahan dan keikhlasan, sehingga tumbuh benih di dalamnya diiringi doa bagi siapa yang mencintainya, dan kita bahagia berada di bawah naungannya, dan kita telah menyaksikan dan mendengar akan pengorbanan para penerusnya baik laki-laki maupun wanita, yang belia maupun yang dewasa; mereka mengorbankan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan sama sekali mereka tidak merasa lemah dan tidak pernah menyerah

فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لأكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ

“Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya”.
(Ali Imran:195).

Bukankah ada sebagian dari jamaah ikhwanul Muslimin yang hijrah dan diusir dari rumah dan tempat tinggal mereka?

Bukankah ada diantara mereka yang disiksa dan dihukum mati?

Bukankah diantara mereka ada yang berjihad melawan penjajahan, pendudukan zionis dan pasukan salib, lalu ada yang berhasil membunuh dan terbunuh?

Bukankah ada diantara mereka yang mati syahid di bawah pecutan penyiksaan? Ada yang digantung diatas tiang gantungan? Sama sekali tidak ada kesalahan yang mereka lakukan kecuali hanya mengatakan Tuhan kami adalah Allah?!

Bukankah ada diantara mereka yang menjadi orang yang lemah, menjanda, dan yatim, dan ada diantara mereka yang tetap bersabar baik laki-laki maupun wanita berada di dalam penjara dan penangkapan sepanjang pertikaian antara yang hak dan bathil di semua tempat?!

Inilah jamaah kita…
dan begitulah kemuliaannya…
Demikianlah sejarah kita…

APAKAH MASIH ADA KERAGUAN AKAN TSIQOHMU TERHADAP JAMAAH INI???

APAKAH MASIH ADA KERAGUAN AKAN TSIQOHMU TERHADAP MANHAJ DAN USLUB JAMAAH INI???

Bahwa kami senantiasa mengikuti manhaj yang bersih sebagai undang-undang yang paten untuk merubah politik dan mengembalikan hak dan kemerdekaan.

Apakah masih ada keraguan terhadap tsiqah pada inti perubahan –dan juga terhadap sarana-sarana eksternal- ketahuilah bahwa ini merupakan sarana perubahan internal yang ada dalam jiwa; untuk memperbaiki apa yang ada padanya dengan Allah SWT, terhadap dirinya dengan ikhwannya, terhadap dirinya dengan umat manusia seluruhnya bahkan terhadap dirinya dengan alam semesta sehingga menjadikannya sebagai kebenaran sebagaimana yang dimiliki oleh Rasululullah saw sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam?!

Marilah kita bangkit memelihara rukun ini dan memperbaiki apa yang telah terjadi.

Kemudian tsiqah terhadap qiyadahmu.. marilah kita berikan nasihat untuk mereka karena ia merupakan agama; karena AGAMA ADALAH NASIHAT, dan dapat dimulai pada para pemimpin umat Islam dan masyarakat secara umum. Karena itu TSIQOH BUKAN BERARTI PENGKULTUSAN dan BUKAN BERARTI TIDAK ADA NASIHAT, BUKAN BERARTI ADA TUDUHAN YANG TIDAK BERDASAR, bukan berarti tidak berfikir pada sesuatu yang lebih baik, karena kita akan diberikan ganjaran terhadap pemikiran yang lebih baik, bahkan sekalipun dihadapan Rasulullah saw seperti yang terjadi pada perang Badr.

Adapun tajarrud adalah timbangan internal yang sangat sensitive sekali, membersihkan jiwa dari hawa nafsu dan tidak cenderung pada sisi kanan atau sisi kiri…

يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (Shad:26)

Tajarrud dalam mengeluarkan hukum (kebijakan)..

Apakah anda telah mencobanya saat menghadapi berbagai permasalahan pada dirimu? Bagaimanakah pertimbanganmu? Apakah anda mendengar dua sisi permasalahan dengan logika seorang jaksa yang memegang tegas prinsip keadilan?

Apakah anda menyadari bahwa jika terjadi kesalahan dalam suatu kebijakan maka kembali pada pertimbangan untuk memperbaikinya adalah solusi yang tepat?

مرني بحسن الأداء، ومُرْه بحسن الطلب

“Perintahkan saya untuk selalu baik menunaikannya, dan perintahkan pada dirinya untuk selalu baik dalam menuntut”

Itulah wasiat Rasulullah saw, tahukah engkau untuk siapakah wasiat tersebut? Itu adalah untuk Umar bin Al-Khattab, khalifah yang adil. Maka bagaimanakah dengan kita?!

Ya Allah anugrahkanlah kepada kami kejujuran dalam berkata-kata, keikhlasan dalam beramal, kebenaran pada saat marah dan ridha, berjihad di jalan Allah, tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang mecela sampai kami dapat berjumpa dengan Tuhan kami dalam berukhuwah yang saling mencintai, bukan dalam kesesatan dan menyesatkan, tidak dalam kehinaan dan penyesalan, tidak berubah, tidak memfitnah dan membawa fitnah. Amin, amin ya rabbal alamin.

sumber:

http://www.al-ikhwan.net/suara-dari-dalam-hati-14-renungan-tentang-ukhuwah-tajarrud-dan-tsiqah-2-4100/